Menakar Konstelasi Politik Usai Deklarasi Anies-Imin

Newsantara.id
4 Sep 2023 14:12
Opini 0 24
5 menit membaca

Publik seketika riuh, ternganga plus terbelalak, seakan tak percaya ketika deklarasi Anies-Imin, Sabtu (2/9/2023) di Surabaya, Jawa Timur.

Calon Presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Rasyid Baswedan resmi menggaet Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Calon Wakil Presiden untuk kontestasi Februari 2024.

Memang, sebagian kalangan yang mafhum sudah menduga Anies jelas akan menggaet tokoh Nadhlatul Ulama (NU), tentu saja untuk mengerek suaranya yang begitu kecil di Jawa Timur.

Seminggu sebelum deklarasi, dua nama yang menguat dari unsur NU adalah, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid dan Khofifah Indar Parawansa.

Tak pernah tebersit nama Cak Imin. Alasannya sudah jelas, Imin masih terikat janji setia bersama Prabowo Subianto di kubu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang belakangan menjadi Koalisi Indonesia Maju.

Namun, semua berubah dalam sekejap. Anies tetiba memilih Imin sebagai pendampingnya menuju gerbang KPU RI nanti. Deklarasi tersebut langsung mengubah kontelasi politik Indonesia. Lebih tepatnya, mengacaukan semua tatanan politik yang setahun belakangan terjadi.

Meski begitu, tanda-tanda keretakan di dalam Koalisi Perubahan dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya sudah tersirat dua bulan sebelum deklarasi Anies-Imin.

Pertama, pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Puan Maharani sudah pasti menjadi awal kekecewaan Anies Baswedan bersama Surya Paloh.

Padahal, saat bersamaan Partai Demokrat berulangkali memberikan sindiran intimidasi dan ultimatum kepada Anies Baswedan agar menetapkan AHY sebagai Cawapres secepatnya.

Kedua, hampir serupa. Cak Imin sudah berulangkali menyampaikan ungkapan keresahan dan kegundahan berbau satire kepada Prabowo Subianto, agar segera ‘melamarnya’.

Namun, Prabowo tak peka, kurang sensitif memahami pasangan.

Alih-alih, menggandeng Imin, Prabowo justru membuka hatinya, untuk pihak ketiga dan keempat, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Kekecewaan yang terakumulasi akhirnya menyimpan bom waktu. Terjadilah ‘Perselingkuhan’ politik terbesar abad ini. Dua hati yang terluka, Anies – Imin yang ternyata sudah lirik-lirikan, justru saling jatuh hati dan langsung ‘bertunangan’.

Mungkin kata generasi milenial, keduanya tak mau jadi korban Pemberi Harapan Palsu (PHP) terus, tanpa masa depan yang jelas.

Lantas bagaimana dampak deklarasi tersebut? Mari kita ulas lebih dalam. Deklarasi Anies-Imin, sudah jelas secara langsung melukai Partai Demokrat dan Prabowo Subianto. Namun, yang menarik, respon berbeda terlihat dari dua pihak ini.

Demokrat begitu emosional dan ‘cengeng’, dengan segala tuduhan negatifnya. Sementara Prabowo, terlihat gagah dan tenang di luar, namun terlihat jelas ada luka di dalam.

Keputusan terbesar deklarasi Anies-Imin tentu saja ada di tangan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Bisa jadi, mungkin saja, pandangan dan pertimbagan Jusuf Kalla ikut berperan.

Yang pasti, Paloh dan Anies bersama semua tim pemikirnya, sudah memikirkan peluang, imbas dan risiko keputusan tersebut. Paloh dan Anies tahu ada hukum sebab akibat dan implikasi kasus hukum yang bisa saja bakal menjerat Imin, meski itu kasus lama.

Bagi publik yang paham, ini seperti pilihan dengan risiko tinggi. Artinya, mengambil keputusan berisiko tinggi, sudah pasti selalu beriringan dengan alasan terbaik, sekaligus amunisi penguat, plus planning B dan C. Apa itu? Biar waktu yang menjawab.

Jangan lupa juga, kader partai Nasdem pernah menjadi Jaksa Agung, yang pastinya mengetahui banyak borok yang terjadi di tingkat elite.

Belum cukup? Partai Nasdem dan PKB adalah ‘orang dalam’ pemerintahan dua periode terakhir. Paloh dan Imin dulunya selalu hadir di rapat super elite ‘Fantastic 8’ (baca: Para Ketum Parpol).

Bahkan, masih jelas di ingatan publik, Imin adalah sosok paling ‘berjasa’ mengorbitkan Maruf Amin sebagai Cawapres Jokowi 2019 (baca: ‘penjegalan’ Mahfud MD). Memang, deklarasi Anies-Imin membuat situasi makin kompleks, runyam dan njlimet.

Bagaimana Jokowi? Harus diakui, hal ini cukup menambah beban Jokowi di tengah padatnya aktivitas. Bagi Jokowi, semua tokoh ini adalah sahabat dekatnya.

Sulit membayangkan, dia mencari solusi terbaik tanpa mengecewakan yang lain. Selentingan kabar, Jokowi marah dengan keadaan ini.

Meski di setiap kesempatan kata ‘Cawe-cawe’ selalu menjadi penekanan, tampaknya Jokowi akan membiarkan rivalitas para kontestan berakhir di ring sesungguhnya.

Yakinlah, Jokowi akan lebih memberi restu kepada yang paling berkompeten membuat Indonesia lebih baik.

Lalu PDIP? Munculnya puluhan Relawan Ganjar di depan hotel Majapahit Surabaya, saat deklarasi, secara tidak langsung menunjukkan kegamangan PDIP belum berakhir.

Belum lagi, beredarnya isu Youth TV versi Ade Armando. Apalagi, ini terjadi tak lama sejak pengkhianatan Budiman Sudjatmiko.

Namun, Megawati Soekarnoputri tetaplah Megawati Soekarnoputri, salah satu politisi terbaik di negara ini. Mampu membuat keputusan terbaik di tengan tekanan terberat. Mari kita lihat nanti.

Pada akhirnya, pertarungan Capres belum dimulai. Dua Capres juga belum mengumumkan Cawapresnya. Situasi akan terus berfluktuatif apalagi jelang detik-detik menuju hari H.

Pun begitu, benar tidaknya Imin bisa menambal suara Anies Baswedan tak lama lagi akan tersaji di sejumlah survei terbaru. Tentu saja lembaga survei yang Independen dan netral.

Biarlah publik belajar, melihat, menelaah dan menganalisa dengan logika. Tak semua yang tersaji di media, seperti realitas sesungguhnya. Ada bagian belakang layar, yang tak akan pernah terpublikasi. Ini hanya bagian dari pendewasaan demokrasi Indonesia. Politik itu seni merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Baca: Ketika PDIP Terlihat Mulai Gamang

Ternyata, pengkhianatan bukan hal tabu dalam politik. Memang benar, tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. (fgt).

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *