Nani Wartabone, Pahlawan Nasional Gorontalo

F. G. Tangkudung
28 Okt 2020 00:30
Pustaka 0 91
6 menit membaca

Nani Wartabone kecil tidak suka saat para pengajar Belanda selalu merendahkan rakyat Indonesia.

Sejarah panjang bangsa Indonesia untuk berdaulat sebagai suatu negara yang merdeka tentunya tak lepas dari jasa para pejuang.

Para anak bangsa yang yang rela mengorbankan jiwa, raga dan materi dalam melawan bangsa penjajah di Nusantara tercinta.

Baca: 7 Januari 1965, Indonesia Keluar dari PBB

Jasa-jasa mereka akan selalu kita kenang dan jadikan pelajaran, agar eksistensi kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat tetap kokoh. Serta menjaga amanat dan cita-cita para pejuang untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia selama-lamanya.

Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki pejuang-pejuang handal yang perjuangannya membuat pihak kawan maupun pihak lawan terkesan.

Semangat perjuangan yang membuat mereka mendapatkan gelar pahlawan adalah bukti bahwa negara dan bangsa Indonesia sangat menghormati jasa-jasa mereka.

Provinsi Gorontalo (sebelumnya bagian Sulawesi Utara) sebagai salah satu daerah di Indonesia, memiliki seorang pejuang hebat  pada masa perjuangan kemerdekaan.

Namanya adalah Nani Wartabone, seorang putra daerah yang sedari kecil sangat menentang keberadaan bangsa Belanda di tanah kelahirannya.

Jiwa dan semangat patriotik Nani Wartabone tumbuh saat mengeyam pendidikan di sekolah Belanda. Nani Wartabone kecil tidak suka saat para pengajar dan teman-temannya yang berkebangsaan Belanda selalu merendahkan rakyat Indonesia.

Dia beruntung memiliki kesempatan bersekolah di sekolah Belanda pada saat itu, karena ayahnya yang bernama Zakaria Wartabone adalah salah satu putra daerah yang menjadi pegawai Belanda.

Kesempatan bersekolah yang memicu tumbuhnya jiwa patriot, dan kelak mengabadikan nama Nani Wartabone sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Sedari muda, dia memegang teguh prinsip bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dan tidak bisa mendapat perlakuan semena-mena.

Prinsip yang mengobarkan semangat Nani Wartabone untuk mendirikan Jong Gorontalo bersama rekan-rekannya saat bersekolah di Surabaya pada tahun 1923. Sekembalinya Nani Wartabone ke Gorontalo, semangat berorganisasi yang ia dapatkan dari Surabaya tidak luntur.

Dia mendirikan perkumpulan tani (hulanga) di daerahnya, dengan tujuan menanamkan rasa kebangsaan rakyat Gorontalo.

Usahanya dalam menggerakkan rasa kebangsaan rakyat Gorontalo berbuah manis pada tahun 1942.

Memanfaatkan situasi perang pada saat itu antara pihak Jepang melawan pihak Sekutu, Nani Wartabone menghimpun kekuatan rakyat Gorontalo untuk memulai perjuangan merebut kembali wilayah Gorontalo dari kekuasaan Belanda.

Tanggal 23 Januari 1942, dia bersama-sama rakyat Gorontalo melancarkan penyerbuan ke kantor-kantor milik Belanda di Kota Gorontalo.

Tidak membutuhkan waktu lama, pada hari itu juga seluruh pejabat Belanda termasuk Kepala Jawatan Tentara Belanda di Gorontalo berhasil mereka tangkap.

Aksi heroiknya bersama rakyat Gorontalo ini berlanjut dengan penurunan bendera Belanda dan menggantinya dengan Bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam sebuah upacara yang dipimpin langsung oleh Nani Wartabone.

Dia kemudian berpidato ditengah-tengah rakyat Gorontalo, yang isinya sebagai berikut:

“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda berganti ke pemerintahan nasional” koarnya.

Sebuah pidato yang menandai bahwasanya masyarakat Gorontalo menjunjung tinggi hasil Sumpah Pemuda 1928, serta bermakna sebagai “deklarasi kemerdekaan pertama” bangsa Indonesia yang terjadi di daerah.

Hari itu juga, rakyat Gorontalo sukses membentuk Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai  Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dengan Nani Wartabone sebagai ketua.

Saat Jepang masuk ke Gorontalo pada tanggal 26 Februari 1942, menandai perjuangan Nani Wartabone belum usai.

Jepang bertindak selayaknya bangsa penjajah, Jepang langsung melarang pengibaran Bendera Merah Putih di Gorontalo dan memaksa warga untuk tunduk kepada mereka.

Nani Wartabone tentu saja menentang sikap Jepang tersebut, namun kekuatan Jepang saat itu sangat kuat. Dia kemudian melakukan gerakan perlawanan dengan cara terus menerus mengobarkan semangat kebangsaan kepada masyarakat Gorontalo.

Atas perlawanannya tersebut, menyebabkan dia ditangkap pihak Jepang pada tanggal 30 Desember 1943. Wartabone kemudian dibawa ke Manado yang saat itu merupakan basis Jepang di wilayah utara Sulawesi.

Tanggal 6 Juni 1945, Jepang akhirnya membebaskan Nani setelah pihak Jepang terdesak balik oleh kekuatan Sekutu. Dan pada tanggal 16 Agustus 1945, terjadi  penyerahan pemerintahan Gorontalo, yang mana Jepang mengakui kedaulatan Gorontalo serta Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Berita kemerdekaan Indonesia ini baru diketahui Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo pada tanggal 28 Agustus 1945. Wartabone menyambut baik berita kemerdekaan Indonesia tersebut.

Pada tanggal 1 September 1945, dia langsung membentuk Dewan Nasional di Gorontalo. Sebuah badan legislatif yang memiliki fungsi untuk mendampingi kepala pemerintahan.

Suka cita Nani Wartabone menikmati kemerdekaan dari bangsa asing tidak berlangsung lama. Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia 2, mencoba masuk ke negara-negara bekas pendudukan Jepang. Dia kembali bertemu musuh lamanya yaitu Belanda yang memboncengi Sekutu.

Saat masuk kembali ke wilayah Gorontalo, Belanda langsung menargetkan untuk menangkapnya yang bisa menjadi penghalang terbesar mereka, serta membalas dendam atas aksinya pada tahun 1942.

Belanda melancarkan aksi tipu muslihat dengan berpura-pura mengajak Wartabone untuk berunding.

Perundingan tipu muslihat ini berlangsung di kapal perang Sekutu pada tanggal 30 November 1945. Belanda akhirnya berhasil menawan Nani Wartabone, dan langsung membawanya ke Manado untuk menjalani persidangan.

Pengadilan Militer Belanda menjatuhkan hukuman penjara 15 tahun atas tuduhan melawan pemerintah Belanda pada tanggal 23 Januari 1942 kepada Wartabone.

Belanda memenjarakannya di Manado hingga terjadinya satu peristiwa heroik di Manado dan sekitarnya, yaitu Peristiwa Merah Putih pada tanggal 14 Februari 1946.

Saat Peristiwa Merah Putih di Manado, dia berhasil bebas berkat bantuan para pejuang dari Sulawesi Utara. Ia kemudian turut serta dalam perjuangan melawan pasukan Belanda di Sulawesi Utara.

Namun kekuatan Belanda saat itu terlalu kuat karena mendapatkan bantuan dari pasukan NICA Sekutu. Beberapa pejuang termasuk Nani Wartabone tertangkap dan kemudian menjadi tahanan Belanda.

Merasa keadaan di Manado belum kondusif, Belanda kemudian memindahkan Nani Wartabone ke Morotai, dan selanjutnya memindahkannya ke Cipinang Jakarta pada bulan Desember 1946.

Dia akhirnya mendapat kebebasan pada tanggal 23 Januari 1949, saat setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Sekembalinya ke Gorontalo, pada periode 1950-1953, Nani Wartabone mendapat kepercayaan sebagai Kepala Pemerintahan di Gorontalo, Pejabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara.

Nani Wartabone juga pernah menjadi anggota MPRS-RI, Dewan Perancang Nasional, dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Atas jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa menentang bangsa penjajah, pada tanggal 7 November 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Nani Wartabone, berdasar Keppres RI No.085/TK/2003, Tanggal 6 November 2003.

Nama besarnya terabadikan menjadi nama taman nasional darat terbesar di Sulawesi,  yaitu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Selain itu untuk mengenang semangat juangnya di Gorontalo, pemerintah membangun Monumen perjuangannya yang berada di alun-alun Kota Gorontalo.

Biodata Nani Wartabone :

Lahir                :  Suwawa, Gorontalo, 30 Januari 1907

Wafat              :  Suwawa Gorontalo, 3 Januari 1986 (usia 78 tahun)

Makam            :  Desa Bube, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo

Penghargaan    : Pahlawan Nasional Indonesia

Penulis: Fathur Ridho

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *