Tuhan juga memberikan manusia akal dan rasionalitas untuk berpikir, menganalisa sebelum mengambil keputusan, itu termaktub dalam kitab suci.
Dampak penyebaran Corona Virus Disease (Covid19) di Indonesia hari ke hari makin mengerikan. Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Suspect hingga Positif Covid 19 tak hitung minggu, melonjak dalam kelipatan deret kali.
Baca: Tuhan, Kenapa Harus Saya?
Pemerintah memang bergerak cepat, namun terlihat cukup kewalahan bahkan kepayahan, menangkal laju penyebaran wabah ini. Makin mengkhawatirkan, penyebaran virus ini akan meledak dalam hitungan minggu.
Social Distancing arahan Presiden Joko Widodo, kini menjadi alternatif terbaik untuk mengurangi bahkan memutus rantai penyebaran Covid19. Instruksi itu langsung diejawantahkan seluruh Pemerintah Daerah kepada masyarakat.
Sekolah, kantor, tempat perbelanjaan, tempat ibadah, apapun yang berkaitan dengan kumpulan orang banyak, kini tutup sementara.
NAMUN, muncul perdebatan baru. Ada faksi yang menyebut, kini manusia melupakan TUHAN, sampai Rumah Tuhan (baca: tempat ibadah) tutup. Mereka mempertanyakan larangan salat berjamaah di masjid, pengajian, kebaktian di gereja dan ibadah di tempat umum.
Penentangan ini bukan hanya terlontar dari para awam, tapi juga dari tokoh publik. Ajakan untuk mengabaikan instruksi pemerintah pun bergema.
COME ON, mari gunakan nurani, hikmat dan akal sehat.
Tuhan memang memberikan Iman kepada manusia. Juga menyuruh untuk taat beribadah kepada-Nya.
TAPI, Tuhan juga memberikan manusia akal dan rasionalitas untuk berpikir, menganalisa sebelum mengambil keputusan, itu termaktub dalam kitab suci.
Seharusnya arahan pemerintah menjauhkan diri dari keramaian tak perlu dipertentangkan. Secara medis itulah cara terbaik, berkaca dari negara-negara lain yang lebih dahulu terdampak.
Tak perlu lagi mengedepankan sikap pongah, angkuh, congkak dan sok jago menghadapi wabah ini. Semua saran harus jadi perimbangan, dari pihak manapun. Saat ini, waktunya semua elemen bangsa bersatu padu, melawan virus corona.
Pernyataan soal nasi kucing seorang menteri, bisa jadi sebuah contoh. Meski dalam konteks guyonan, tampak kepongahan, kesombongan dan kepercayaan diri berlebih. Tak sampai sebulan, pernyataan itu memakan diri, sang pemilik guyonan positif Covid19.
Publik pun bisa menarik pelajaran penting, ketika pihak kepolisian China mengungkapkan penyesalan atas tindakannya yang berdampak sangat luar biasa. Mereka bahkan meminta maaf secara resmi atas kesalahan institusi, hal yang jarang terjadi di China.
Kisahnya, ketika sebuah virus baru terdeteksi, seorang dokter di China, Li Wenliang mengabarkan dan memperingatkan publik. Alih-alih mendengarkan, pihak kepolisian justru memperingatkan Li Wenliang berhenti menyebar berita bohong dan meresahkan.
Dia terpaksa menandatangani pernyataan menghentikan tindakannya jika tak ingin dapat tuntutan hukum. Bukan hanya itu, blog Li Wenliang tentang corona di Wuhan kena blokir pada akhir Desember.
Dalam hitungan hari, peringatan Li Wenliang terbukti. Virus bahkan menyebar dengan sangat cepat dan tak terkendali. Bukan lagi di China tapi kini menyebar ke hampir 200 negara di dunia.
Li Wenliang akhirnya terpapar virus penemuannya, karena memilih tetap merawat pasien di rumah sakit. Dia meninggal 7 Februari 2020 dalam usia muda, 34 tahun.
Memang, keyakinan dan sebuah kepongahan sangat tipis batasnya. Berserah agar selalu dalam Lindungan-Nya adalah sebuah kewajiban. Namun, ikhtiar dengan akal menuju takdir baik juga adalah Perintah-Nya.
Dear Pak Jokowi, Rakyat Kini Bingung dan Takut
Karena sejatinya, ketika semua sudah terlambat, yang tersisa hanya sebuah PENYESALAN…
Tidak ada komentar