Menanti Hasil Kerja Si Mulut Besar Purbaya Yudhi Sadewa

Menanti Kerja Si Mulut Besar Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa kini resmi menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Tapi publik belum sempat menghela napas, ia sudah sibuk mengatur panggung retorika. Belum ada satu pun kebijakan fiskal yang ia teken, tapi sudah banyak pernyataan yang ia lempar ke media—tentang efisiensi, keberanian fiskal, dan perlunya “penataan ulang” belanja negara. Semua terdengar gagah, tapi kosong dari rekam jejak.

Belum lagi, mulut besarnya yang menyebut pendemo akhir Agustus 2025 yang turun ke jalan itu hanya sebagian kecil rakyat. Meski belakangan dia ralat menjadi sebagaian besar rakyat. Menurutnya jika ia sudah bekerja, para pendemo itu tak akan demo lagi, tapi akan sibuk makan enak. Pernyataan itu, sudah cukup menggambarkan karakter Purbaya sebagai Si Omon-omon.

Yang menarik, Purbaya bukan figur baru di lingkar kekuasaan. Ia adalah sosok yang selalu berada di orbit Luhut Binsar Pandjaitan. Saat Luhut menjabat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) pada 2014, Purbaya sudah ikut dalam tim teknis. Ketika Luhut diangkat menjadi Menko Polhukam, Purbaya tetap berada di belakang layar. Saat Luhut menjabat Menko Maritim dan Investasi, Purbaya kembali muncul sebagai pendamping dalam berbagai proyek strategis nasional—dari hilirisasi nikel, transisi energi, hingga food estate. Ia bukan pengambil keputusan utama, tapi selalu ada sebagai figur pendukung yang patuh dan tidak membantah.

Selama menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak 2020, Purbaya tidak meninggalkan jejak kebijakan fiskal yang signifikan.

LPS tetap menjalankan fungsi teknisnya: menjamin simpanan nasabah bank hingga Rp2 miliar, menjaga stabilitas sistem perbankan, dan mendukung penanganan bank gagal. Tapi tidak ada terobosan besar, tidak ada reformasi struktural, dan tidak ada gebrakan yang membuat namanya dikenal sebagai arsitek ekonomi.

Kini, setelah resmi menjabat sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa langsung tampil dengan gaya retoris yang mencolok. Dalam berbagai forum, ia menyampaikan bahwa APBN ke depan harus lebih berani, lebih rasional, dan tidak terjebak pada pola belanja masa lalu. Ia bicara soal efisiensi, penataan ulang subsidi, dan penguatan belanja produktif. Semua itu terdengar bagus—di atas kertas. Tapi publik tahu, mengelola keuangan negara bukan urusan kata-kata, melainkan urusan nyali, akurasi, dan stamina menghadapi tekanan global.

Bandingkan dengan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan sebelumnya, yang menjabat sejak 2016 dan juga pernah memimpin kementerian ini di era SBY.

Ia menghadapi krisis global 2008, pandemi COVID-19, dan tekanan geopolitik pasca perang Rusia-Ukraina. Ia menjaga defisit fiskal di bawah 3% selama hampir satu dekade, sebelum pandemi memaksa relaksasi. Rasio utang terhadap PDB terjaga di kisaran 38–40%, dan Indonesia tetap mendapat peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat internasional seperti Moody’s, Fitch, dan S&P.

Sri Mulyani juga memperkenalkan sistem perbendaharaan berbasis teknologi, memperkuat transparansi APBN, dan menjaga kepercayaan investor asing. Ia bukan sempurna, tapi ia bekerja. Ia tidak sibuk membandingkan dirinya dengan pendahulunya, karena ia tahu: APBN bukan panggung ego, melainkan arena pertarungan antara idealisme dan realitas.

Purbaya, di sisi lain, baru masuk sudah sibuk mengatur narasi. Ia seperti pemain bola yang belum menyentuh bola tapi sudah selebrasi di pinggir lapangan. Ia bicara soal efisiensi, tapi lupa bahwa belanja negara bukan sekadar angka di Excel. Di dalamnya ada subsidi energi yang menyentuh 40 juta rumah tangga, bansos yang menopang daya beli rakyat, gaji ASN, utang luar negeri, dan ribuan program lintas kementerian yang saling bertabrakan. Mengelola APBN bukan hanya soal idealisme, tapi juga soal kompromi dan ketahanan.

Lebih parah lagi, Purbaya tampaknya tidak sadar bahwa ia sedang duduk di kursi yang paling diawasi oleh pasar.

Menteri Keuangan bukan hanya pejabat teknis, tapi juga simbol kredibilitas fiskal. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa mempengaruhi yield Surat Berharga Negara (SBN), bisa mengubah arah investasi. Bisa juga membuat investor asing menarik dana atau menambah portofolio. Tapi Purbaya justru membuka debutnya dengan retorika yang membuat pelaku pasar mengernyit.

Lalu, mengapa Prabowo memilih Purbaya Yudhi Sadewa?

Jawabannya bukan pada prestasi, tapi mungkin pada loyalitas dan kompatibilitas politik. Prabowo butuh figur yang bisa “mengamankan” jalur fiskal tanpa banyak membantah.

Purbaya selama ini dikenal sebagai figur yang patuh pada garis besar kekuasaan, tidak banyak menolak, dan tidak punya basis politik yang bisa mengganggu. Ia bukan ancaman, tapi juga bukan solusi yang menjanjikan.

Satu tahun ke depan akan jadi ujian nyata.

Kalau benar ada perubahan signifikan—defisit turun, belanja lebih tepat sasaran, utang terkendali, dan kepercayaan pasar meningkat—maka kita beri tepuk tangan. Tapi banyak pihak pesimis. Bukan karena tak percaya pada niat baik, tapi karena terlalu banyak pejabat datang dengan mulut besar dan pergi dengan jejak kecil.

Purbaya harus sadar: kursi Menteri Keuangan bukan panggung stand-up comedy. Ini kursi panas yang bisa membakar reputasi siapa pun yang datang dengan kesombongan dan pergi tanpa hasil. Jika dalam satu tahun ia bisa menurunkan defisit, memperbaiki struktur belanja, dan menjaga kredibilitas fiskal tanpa drama, maka ia layak mendapat apresiasi. Tapi jika yang tersisa hanya kutipan viral dan presentasi PowerPoint penuh jargon, maka sejarah akan mencatatnya sebagai satu lagi nama yang datang dengan gegap gempita dan pergi dengan sunyi.

Untuk saat ini, publik hanya bisa menunggu. Menunggu apakah Purbaya Yudhi Sadewa bisa menjahit kata-katanya menjadi kebijakan nyata. Atau apakah ia akan jadi satu lagi pejabat yang lebih banyak bicara daripada bekerja? Akhirnya tenggelam dalam arsip kementerian sebagai catatan kaki yang tak penting.

Kereta Cepat Whoosh, Utangnya Lebih Ngebut dari Keretanya

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *