Harapan Interisti untuk melihat timnya mengulang kejayaan treble 2010 pun sirna, dengan setiap kekalahan seolah memperjelas bahwa mereka belum cukup kuat untuk menguasai sepak bola Eropa.
Inter Milan harus mengalami mimpi buruk, setelah gagal di tiga ajang musim ini—Serie A jatuh ke tangan Napoli, Coppa Italia oleh Bologna, dan final Liga Champions menjadi bagian paling horor dengan kekalahan telak dari PSG.
Justru PSG berhasil meraih treble musim 2024/25! Mereka memenangkan Ligue 1, Coupe de France, dan akhirnya Liga Champions, mengalahkan Inter Milan dengan skor telak 5-0 di final.
Harapan besar menggantung di langit biru kota Milan, tapi kini mereka terjebak dalam awan kelabu penuh tudingan tak berdasar.
Tentu saja, interisti yang belum bisa menerima kenyataan mulai mencari kambing hitam. Ada yang berteriak soal match-fixing, ada yang menyalahkan konspirasi mafia sepak bola, dan ada yang menyebut, “Ini bukan Inter yang sesungguhnya!” Padahal, kenyataannya sangat sederhana—Inter kehabisan tenaga. Energinya terkuras habis di babak perempat final dan semifinal UCL.
Serie A dan Coppa Italia: Harga Mahal Fokus Berlebihan
Segala sesuatunya dimulai dari keputusan Inter untuk menaruh seluruh taruhannya pada Liga Champions. Dengan optimisme luar biasa, mereka mengorbankan Serie A dan Coppa Italia sebagai “lahan eksperimen” untuk menjaga performa terbaik di Eropa.
Di pekan terakhir Serie A, Napoli memenangkan pertandingan melawan Cagliari dengan skor 2-0, sementara Inter juga menang 2-0 atas Como, tetapi tetap gagal merebut Scudetto. Napoli akhirnya merayakan gelar juara dengan selisih hanya satu poin di atas Inter.
Napoli melenggang nyaman meraih scudetto, sementara Coppa Italia jatuh ke tangan Bologna. Interisti bingung mencari alasan kekalahan.
Inter sebenarnya tidak bermain buruk di domestik, tapi kehilangan fokus berarti kehilangan peluang emas. Dan ketika mereka akhirnya sadar bahwa Liga Champions adalah satu-satunya harapan, semua sudah terlambat.
Musim ini, Inter Milan bukan hanya gagal meraih trofi, tetapi juga harus menelan pil pahit kekalahan berulang dari rival sekota, AC Milan.
Jika ada satu hal yang membuat Interisti semakin frustrasi, itu adalah Derby della Madonnina yang berubah menjadi mimpi buruk.
Inter Milan mengalami kekalahan beruntun dari AC Milan di berbagai ajang musim ini. Mereka kalah 1-2 di Serie A pada September 2024 setelah gol telat Matteo Gabbia menghancurkan harapan mereka. Kemudian, mereka kembali tersungkur di final Supercoppa Italiana pada Januari 2025, kalah 2-3 di Riyadh dalam laga yang seharusnya bisa mereka menangkan.
Namun, yang paling menyakitkan adalah Coppa Italia. Inter memiliki peluang besar untuk melaju ke final, tetapi AC Milan kembali menjadi mimpi buruk mereka. Setelah bermain imbang 1-1 di leg pertama semifinal, Inter justru dibantai 0-3 di leg kedua di San Siro. Luka Jovic mencetak dua gol, dan Tijjani Reijnders menambah satu gol untuk memastikan Milan melaju ke final dengan agregat 4-1.
Inter berhasil melewati hadangan raksasa Eropa. Mereka menyingkirkan Bayern Munchen dan Barcelona di babak perempat final dan semifinal, dua laga yang menguras tenaga habis-habisan. Laga melawan Munchen adalah peperangan fisik, sementara menghadapi Barcelona adalah duel taktik yang melelahkan.
Sayangnya, sejarah berbicara. Ketika akhirnya mereka melangkah ke final, apa yang terjadi? Mereka kehabisan bensin!
Inter Milan 2025 seperti Timnas Italia di Euro 2012. Italia ketika itu tampil luar biasa, melewati Inggris dan Jerman dengan performa luar biasa, hanya untuk dihancurkan tanpa perlawanan oleh Spanyol di final. Inter mengalami hal serupa—masuk ke final dalam kondisi kelelahan, dengan mental yang goyah. Mereka ingin menang, tetapi tubuh mereka berkata lain.
David Silva membuka pesta gol Spanyol dengan sundulan akurat, lalu Jordi Alba mencetak gol kedua lewat serangan cepat yang membuat pertahanan Italia kewalahan. Seolah belum cukup, Fernando Torres dan Juan Mata menambah luka dengan dua gol tambahan di babak kedua. Italia tidak berkutik, kelelahan, dan seolah sudah kehabisan tenaga sebelum pertandingan berakhir. Kekalahan itu tidak hanya mempermalukan tim nasional, tetapi juga menjadi bukti bahwa tanpa energi yang cukup, bahkan tim hebat bisa bertekuk lutut.
Jika Italia dibantai Spanyol pada 2012, maka Inter Milan dibantai PSG dengan skor 5-0.
Untuk para pembenci Inter, ini adalah aib bagi sepak bola Italia. Sebuah kekalahan yang tidak hanya merusak citra klub, tetapi juga menjadi bahan olok-olokan di seluruh media sosial. Jika di Italia pasti akan menerima hadiah Babi Emas.
Di tengah kekacauan ini, Interisti mulai mengenang masa kejayaan di bawah Jose Mourinho. Sang pelatih legendaris yang pada 2010 membawa Inter meraih treble winner—Serie A, Coppa Italia, dan Liga Champions dalam satu musim.
Mourinho memiliki formula kemenangan yang tak tertandingi. Ia membangun tim dengan mental juara dan taktik yang bisa mengalahkan siapa pun.
Saat ini, banyak Interisti beralasan bahwa tim gagal di semua ajang karena dihuni pemain-pemain yang sudah uzur, seolah usia adalah biang keladi kehancuran. Tetapi mereka lupa—Jose Mourinho, The Special One, pernah membuktikan sebaliknya pada 2010, saat ia meraih treble winner dengan skuat yang jauh dari kata muda.
Diego Milito (30), Javier Zanetti (36), Walter Samuel (32), bahkan Esteban Cambiasso (29) dan Lucio (32) adalah tulang punggung tim yang berhasil menyingkirkan Barcelona, yang kala itu dianggap tak terkalahkan.
Dengan taktik luar biasa, Mou mengorbankan penguasaan bola demi pertahanan yang kokoh, menghancurkan tiki-taka yang menguasai dunia, dan mengubah Inter menjadi mesin perang disiplin yang tak kenal menyerah.
Inter hari ini boleh beralasan soal usia, tetapi sejarah membuktikan bahwa Mourinho tidak pernah melihat umur sebagai batasan—ia hanya melihat mental juara. Jika Interisti masih mencari alasan, mereka seharusnya mulai mencari The Special One berikutnya, bukan menyalahkan usia pemain.
Tentu, Inter Milan berjuang luar biasa hingga mencapai final. Tetapi harus diakui, PSG tampil sempurna, dan ada satu nama yang menjadi faktor utama di balik kesuksesan mereka: Luis Enrique.
Pelatih asal Spanyol itu mengubah PSG menjadi tim yang tak terkalahkan dengan permainan cepat dan taktik luar biasa. Di final Liga Champions, tak ada celah bagi Inter untuk bernapas. Setiap serangan PSG seperti gelombang yang tak berhenti, membuat pertahanan Inter terlihat kebingungan. Enrique membawa PSG ke level yang berbeda, memastikan bahwa trofi Liga Champions akhirnya mendarat di Paris setelah bertahun-tahun hanya menjadi mimpi.
PSG justru menemukan keseimbangan baru setelah kepergian Kylian Mbappe. Banyak yang mengira bahwa kehilangan pemain bintang seperti Mbappé akan membuat PSG melemah, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Luis Enrique Membuktikan Teorinya – Pelatih asal Spanyol ini sebelumnya mengatakan bahwa PSG akan lebih baik tanpa Mbappe, dan kini terbukti benar. PSG menjadi tim yang lebih kompak, taktis, dan sulit dikalahkan.
Di bawah asuhan Luis Enrique, PSG berubah menjadi tim yang lebih kolektif, solid, dan taktis. Tanpa Mbappe, mereka tidak lagi bergantung pada satu pemain untuk mencetak gol atau menciptakan peluang.
Mereka kini memiliki trio ofensif yang lebih fleksibel, dengan Ousmane Dembele, Khvicha Kvaratskhelia, dan Desire Doue yang mampu bergerak dinamis dan menciptakan peluang dari berbagai sisi.
Interisti harus berhenti mencari alasan dan mulai menerima kenyataan. Musim ini adalah kegagalan yang pahit, tapi itu bukan akhir.
Siapa tahu, di Piala Dunia Antarklub Juni 2025 mereka bisa membuat kejutan dan setidaknya meraih prestasi di panggung internasional?
Inter Milan musim ini memang gagal total dalam hal gelar. Namun, bagi penggemar sepak bola netral, mereka tetap harus dihormati atas perjuangan luar biasa yang mereka tunjukkan. (BangKipot)
Timnas U20 Kalah dari Iran, Latihan Mental Gagal ke Piala Dunia
Tidak ada komentar