Di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat—sebuah wilayah yang jarang masuk peta prioritas pembangunan—seorang balita bernama Raya menghembuskan napas terakhirnya di RSUD R Syamsudin SH, Kota Sukabumi, pada 22 Juli 2025. Usianya baru tiga tahun, tapi tubuhnya sudah dipenuhi cacing hingga ke otak.
Negeri yang gemar menyebut anak sebagai “generasi emas,” seorang bocah bernama Raya tumbuh dengan keseharian bermain dengan ayam dan tanah. Ia lahir tanpa sambutan, tumbuh tanpa pengawasan, dan mati tanpa jaminan. Usianya baru tiga tahun, tapi tubuhnya sudah penuh luka yang tak terlihat. Cacing-cacing itu bukan musuh utama—mereka hanya datang karena tak ada yang lebih dulu menjaga.
Raya tinggal di rumah panggung berdinding triplek, tempat ayam bebas berkeliaran dan manusia bebas berharap. Di kolong rumah itulah ia bermain, merangkak, tanpa pernah tahu apa bahayanya. Tak ada lantai keramik, tak ada sabun antiseptik, Ia hanya ntim dengan tanah yang penuh dengan kotoran ayam.
Ibunya, Endah, bicara sendiri dan tertawa sendiri, hidup dalam dunianya sendiri. Ayahnya, Udin, mengidap TBC dan lebih sering menghilang daripada hadir. Neneknya, Mbok Sri, percaya bahwa semua penyakit bisa sembuh dengan doa dan rebusan daun.
Raya tidak punya akta lahir, tidak punya kartu keluarga, dan tentu saja tidak punya BPJS.
Ia adalah anak yang tidak tercatat dan tidak terdata karena kondisi orang tua dan lingkungannya. Ketika tubuhnya mulai lemas dan napasnya tersengal, keluarga bingung harus ke mana. Klinik terdekat hanya bisa memberi obat batuk. Rumah sakit meminta dokumen. Dinas sosial meminta surat. Dinas kesehatan meminta waktu. Dan semuanya sudah terlamnbat.
Relawan datang membantu, membawa ambulans dan harapan. Raya dibawa ke rumah sakit, masuk ruang IGD, lalu dipindahkan ke PICU. Dokter bingung. Awalnya dikira TBC, lalu meningitis, lalu akhirnya cacing. Cacing keluar dari hidungnya, dari fesesnya, dari tubuh kecil yang tak pernah tahu bahwa ia sedang menjadi tuan rumah bagi parasit. Infeksi sudah menyebar ke paru-paru, ke otak, ke semua tubuh mungilnya.
Rumah sakit memberi waktu tiga hari untuk mengurus BPJS. Relawan berlari ke Disdukcapil, ke Dinas Sosial, lalu ke Dinas Kesehatan, lalu kembali ke titik awal. Semua instansi punya alasan, punya prosedur. Raya sudah terbaring kritis.
Pada hari kesembilan, Raya menyerah. Semuanya sudah terlambat. Ia menghembuskan napas terakhirnya di ruang yang dingin, di bawah lampu putih. Tidak ada pelukan terakhir dari ibunya, juga tidak ada genggaman tangan dari ayahnya. Hanya suara mesin dan tatapan kosong dari orang-orang yang sudah terlalu sering melihat kemiskinan sebagai pintu kematian.
Setelah kematiannya viral, semua orang mulai bicara.
Kepala desa bilang sudah berusaha. Dinas bilang sudah koordinasi. Pemerintah bilang akan evaluasi. Media menulis, netizen menangis, dan pejabat berjanji. Gubernur yang sering berkeliling itu juga marah. Tapi Raya sudah tidak ada. Ia tidak bisa membaca berita, tidak bisa mendengar janji, tidak bisa menunggu hasil evaluasi, apalagi mendapat makanan bergizi gratis.
Kini, tubuh kecil itu sudah dikubur. Cacing-cacing mungkin sudah mencari tuan rumah baru. Rumah sakit membebaskan tagihan, relawan membayar sisanya, dan semua orang kembali ke rutinitas. Tapi pertanyaan tetap menggantung: bagaimana bisa seorang anak mati karena cacing, di negeri yang katanya punya program cek kesehatan gratis?
Raya bukan satu-satunya. Ia juga hanya yang kebetulan viral. Di kampung-kampung lain, anak-anak lain sedang bermain di tanah yang sama, menghirup udara yang sama, dan menunggu giliran. Mereka tidak tahu bahwa hidup mereka tergantung pada keberuntungan algoritma media sosial.
Dan negeri ini, seperti biasa, semua akan melanjutkan hari-harinya. Pemerintah menggelar rapat evaluasi dan meluncurkan program. Intinya bergerak cepat setelah ada insiden. Setelah itu, kembali ke pengaturan awal. Ironi yang sudah menjadi lumrah.
Di negeri yang gemar menyebut anak sebagai “generasi emas,” Raya adalah bukti bahwa emas bisa terpendam terlalu dalam, sampai cacing lebih dulu menemukannya. MIRIS.