Seorang pemuda nampak melepas lelah bersandar di sebuah batu. Dia bersantai sambil melihat sepasang angsa di kolam.
Menatap romantisme sepasang angsa, dia mulai berpikir untuk mencari tambatan hati, sebagai pasangan hidupnya kelak.
Baca: Tak Perlu Malu Terlahir Miskin
“Mungkin hidupku juga akan lebih bahagia jika memiliki seorang wanita sebagai pasangan hidup,” katanya dalam hati .
“Tapi aku harus mencari seorang wanita yang sempurna. Ya, aku harus mencari wanita terbaik di bumi ini,” kata hatinya makin kuat.
Dia lalu beranjak dari duduknya, bergegas menemui gurunya.
“Guru, aku ingin menanyakan satu hal kepadamu,” kata dia ketika bersua dengan gurunya.
“Ada apa anakku?,” balas sang guru.
Sang guru tersenyum lalu menghela nafasnya dalam-dalam.
“Mari kita ke taman bunga belakang,” ajak gurunya.
Sampailah keduanya di sebuah taman bunga yang cukup luas. Banyak bunga indah serta kupu-kupu beterbangan.
“Sekarang berjalanlah masuk ke taman bunga. Petiklah setangkai bunga yang paling indah. Tetapi kamu tidak boleh berbalik jika sudah melewatinya. Ingat, setangkai yang paling indah,” pesan sang guru.
Masuklah pemuda itu menyusuri taman, lalu dia mulai melihat bunga-bunga indah di taman.
Ketika matanya melihat bunga berwarna merah, dia melangkah ingin memetiknya.
“Ah tunggu. Mungkin di depan ada bunga yang jauh lebih indah,” suara hatinya menggagalkan dia memetik bunga merah itu.
Selanjutnya, dia kembali menemukan bungu kuning yang sangat indah.
“Mungkin inilah bunga yang terindah. Tapi… mungkin ada yang lebih indah di depan,” kata hatinya kembali menolak
Kejadian itu terus berulang, lalu tanpa sadar pemuda itu sudah berada di batas akhir taman itu.
Dengan rasa kecewa, dia kemudian balik menemui gurunya tanpa membawa setangkai bunga.
“Mana setangkai bunga yang paling indah itu?,” tanya gurunya dengan senyum mengejek.
“Beberapa kali aku mendapati bunga indah. Tapi aku berpikir, mungkin di depan akan ada bunga yang lebih indah. Ketika sampai di batas taman, aku sudah tak bisa kembali,” jelas pemuda itu.
“Sekarang mari kita kembali masuk ke dalam taman,” ajak gurunya lagi.
“Petiklah bunga yang paling indah. Pertimbangkan masak-masak. Sama juga seperti yang pertama, kamu tak bisa kembali jika sudah melewatinya,” pesan sang guru.
Tak ingin sampai di batas taman dengan tangan kosong, sang pemuda lalu memetik setangkai bunga cantik berwarna merah.
“Saya memilih ini guru. Indah dan harum,” katanya.
“Itukah pilihanmu?, lihat tangkai bunga itu penuh duri. Kelopaknya juga gampang jatuh,” balas sang guru.
Pemuda itu mulai ragu dengan pilihannya, lalu membuang bunga itu.
“Pilihanku salah. Aku akan mencari bunga indah lainnya,” lanjut pemuda itu.
Setiap dia menemukan bunga yang cantik, gurunya selalu menyalahkan pilihannya.
“Guru, ternyata tidak ada bunga terbaik. Semuanya jelek, hanya terlihat indah atau menarik dari jauh,” dia mengambil kesimpulan.
Pemuda itu kini mengerti. Semuanya hanya tentang sudut pandang dan rasa syukur. Kebahagiaan yang hakiki.
Dia lalu kembali memetik sebuah tangkai berduri berbunga indah. Berwarna merah dan juga harum baunya. Bunga mawar yang kelak menjadi lambang cinta sejati.
Pemuda itu adalah Aristoteles, guru dari Alexander Agung sedangkan sang guru bernama Plato, murid dari Socrates.
Mereka adalah filsuf kesohor dari Yunani yang juga pemikir paling terkenal dan berpengaruh bagi kebudayaan dunia.
Penulis: Farezell Gibran
Tidak ada komentar