Koruptor Bebas, Publik Geram: Ironi yang Sudah Jadi Tradisi

Koruptor Bebas, Publik Geram: Ironi yang Sudah Jadi Tradisi

Koruptor bebas bersyarat kembali menghiasi perayaan HUT RI, seolah tradisi tahunan ini tak pernah absen dari panggung hukum Indonesia.

Di tengah semangat kemerdekaan, puluhan narapidana kasus korupsi—termasuk Setya Novanto—mendapat remisi yang mempercepat langkah mereka keluar dari jeruji. Fenomena ini bukan sekadar soal administrasi pemasyarakatan, tapi cerminan dari betapa lunaknya sikap negara terhadap kejahatan yang merampas hak publik secara sistematis.

Indonesia kembali merayakan kemerdekaan dengan tradisi yang tak pernah absen: membebaskan para koruptor kelas kakap lebih cepat dari masa hukuman pengadilan.

Tahun ini, pada 16 Agustus 2025, sehari sebelum HUT ke-80 Republik Indonesia, Setya Novanto resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin.

Mantan Ketua DPR RI itu sebelumnya dmendapat vonis 15 tahun penjara atas kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Namun, setelah menjalani hukuman lebih dari enam tahun, ia kembali menghirup udara bebas. Bukan karena keajaiban, tapi karena sistem hukum kita memang penuh kejutan.

Vonis terhadap Setya Novanto jatuh pada 24 April 2018 oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta, minus Rp5 miliar yang ada di KPK.

Setnov bukan satu-satunya narapidana korupsi yang mendapat “penghargaan” berupa kebebasan bersyarat. Pada 6 September 2022, gelombang pembebasan bersyarat melanda Lapas Sukamiskin dan beberapa lapas lainnya.

Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, ikut dalam daftar. Ia  dapat vonis 12 tahun penjara atas dua kasus: suap Pilkada Lebak 2013 dan korupsi pengadaan alat kesehatan tahun anggaran 2012. Dalam kasus Pilkada, Atut menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi melalui adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, sebesar Rp1 miliar. Dalam kasus alkes, negara rugi Rp79,7 miliar. Atut menjalani hukuman hampir sembilan tahun sebelum akhirnya bebas bersyarat pada 6 September 2022.

Jaksa Pinangki Sirna Malasari juga mendapat tiket keluar lebih cepat.

Ia mendapat hukuman 10 tahun penjara pada 2020 karena menerima suap dari buronan Djoko Tjandra dalam pengurusan fatwa Mahkamah Agung. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta memangkas hukumannya menjadi empat tahun. Pinangki hanya menjalani sekitar dua tahun sebelum bebas bersyarat pada 6 September 2022. Ia keluar dari penjara tanpa perlu mengembalikan uang suap secara transparan, dan tentu saja tanpa pasal pencucian uang yang menyita aset.

Zumi Zola Zulkifli, mantan Gubernur Jambi, dapat vonis enam tahun penjara pada 2018 karena menerima gratifikasi lebih dari Rp40 miliar dan menyuap 53 anggota DPRD Jambi sebesar Rp16,34 miliar. Ia tidak mengajukan banding, namun sempat mengajukan peninjauan kembali yang ditolak Mahkamah Agung. Zumi bebas bersyarat pada 6 September 2022, setelah menjalani hukuman sekitar empat tahun. Ia kini kembali aktif di media sosial, seolah tak pernah ada skandal.

Patrialis Akbar, mantan Hakim Konstitusi, kena vonis delapan tahun penjara pada 2017 karena menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman, terkait uji materi UU Peternakan. Mahkamah Agung kemudian mengabulkan peninjauan kembali dan memotong hukumannya menjadi tujuh tahun. Patrialis bebas bersyarat pada September 2022, bersama 22 narapidana korupsi lainnya. Ia keluar tanpa perlu menjelaskan bagaimana seorang hakim bisa begitu mudah tergoda oleh daging impor.

Daftar koruptor masih panjang, menggambarkan kemurahan hati dan solidaritas.

Andi Taufan Tiro, mantan anggota DPR dari PAN, dapat vonis pada tahun 2017 dengan hukuman 9 tahun penjara karena terbukti menerima suap terkait proyek pembangunan infrastruktur di Kementerian PUPR. Namun, pada 6 September 2022, ia bebas bersyarat, hanya lima tahun setelah palu vonis jatuh.

Arif Budiraharja, mantan pejabat Bank BJB Syariah, terlibat dalam kasus kredit fiktif yang merugikan keuangan negara. Ia dapat vonis pada sekitar 2020, dan sudah bebas bersyarat pada 2022, meski durasi hukuman dan tanggal vonisnya tidak terpublikasikan secara luas.

Supendi, mantan Bupati Indramayu, vonis pada 2020 dengan hukuman 4,5 tahun penjara atas kasus suap bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Ia juga menerima pembebasan bersyarat pada 2022, hanya dua tahun setelah vonis.

Sugiharto, pejabat Kemendagri yang terlibat dalam skandal korupsi e-KTP bersama Setya Novanto, mendapat hukuman 5 tahun penjara pada 2017. Ia ikut menikmati pembebasan bersyarat pada 2022, tepat lima tahun setelah vonis, tanpa menjalani hukuman penuh.

Andri Tristianto Sutrisna, mantan Kasubdit di Mahkamah Agung, vonis pada 2016 dengan hukuman 9 tahun penjara karena menerima suap dalam penanganan kasasi dan peninjauan kembali. Ia bebas bersyarat pada 2022, setelah menjalani enam tahun dari vonisnya.

Edy Nasution, mantan Panitera PN Jakarta Pusat, mendapat hukuman 5,5 tahun penjara pada 2016 karena menerima suap dari pihak Lippo Group. Ia juga keluar dari penjara lebih cepat melalui pembebasan bersyarat pada 2022.

Irvan Rivano Muchtar, mantan Bupati Cianjur, vonis 5 tahun penjara pada 2019 atas kasus korupsi Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan. Ia menerima pembebasan bersyarat pada 6 September 2022, hanya tiga tahun setelah vonis.

Ojang Suhandi, mantan Bupati Sumedang, mendapat hukuman 8 tahun penjara pada 2017 karena terlibat dalam suap dan tindak pidana pencucian uang terkait BPJS Subang. Ia juga bebas bersyarat pada 6 September 2022, setelah menjalani lima tahun hukuman.

Desi Aryani, mantan Direktur Utama Jasa Marga, vonis 4 tahun penjara pada 2021 atas kasus korupsi subkontraktor fiktif PT Waskita Karya. Ia keluar dari penjara melalui pembebasan bersyarat pada 2022, hanya satu tahun setelah vonis.

Mirawati Basri, seorang pengusaha yang menyuap anggota DPR terkait kuota impor bawang putih, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara pada 2020. Ia juga menerima pembebasan bersyarat pada 2022, dua tahun setelah vonis.

Syahrul Raja Sempurnajaya, mantan Kepala Bappebti, divonis 8 tahun penjara pada 2014 karena melakukan pemerasan terhadap asosiasi pialang. Ia ikut dalam gelombang pembebasan bersyarat pada 2022, setelah menjalani delapan tahun hukuman.

Yang lebih mencolok dari semua koruptor bebas ini adalah absennya penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) secara maksimal.

Banyak dari mereka keluar dari penjara dengan aset yang tidak disita negara. Artinya, mereka tidak hanya bebas secara fisik, tapi juga secara finansial. Mereka bisa kembali ke kehidupan nyaman, bahkan kadang lebih nyaman dari sebelum masuk penjara.

Fenomena koruptor bebas ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah sistem hukum kita benar-benar bertujuan memberantas korupsi? Ataukah hanya menjalankan prosedur agar terlihat bekerja?

Koruptor bisa bebas lebih cepat. Sementara itu, rakyat harus menunggu bertahun-tahun untuk melihat perubahan nyata. Dalam kondisi seperti ini, keadilan menjadi barang mewah. Ia hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya akses dan koneksi.

Setiap Agustus, rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan dengan semangat perjuangan. Tapi para koruptor merayakannya dengan remisi dan pembebasan bersyarat. Mereka tidak perlu berjuang, cukup bertahan di dalam penjara sambil menunggu sistem yang akan membebaskan mereka. Sementara itu, korban korupsi—rakyat biasa—harus terus berjuang menghadapi harga pangan yang naik, layanan publik yang buruk, dan pendidikan yang mahal.

Mungkin sudah saatnya kita mengganti slogan pemberantasan korupsi dengan sesuatu yang lebih jujur. Bukan “berantas korupsi sampai ke akar-akarnya”, tapi “berantas korupsi sampai masa tahanannya bisa dipangkas”. Karena pada akhirnya, yang penting bukan berapa lama vonis hukuman mereka, tapi seberapa cepat mereka bisa kembali menikmati hasilnya.
Dan seperti biasa, kita akan terus mencatat, mengkritik, dan berharap.

Ketika koruptor bebas lebih cepat daripada keadilan ditegakkan, publik tak hanya kehilangan kepercayaan—mereka kehilangan arah. Remisi yang atas nama kemanusiaan justru memperlihatkan betapa hukum bisa tunduk oleh kepentingan politik dan birokrasi.

Putri Candrawathi Dapat Remisi 9 Bulan di HUT RI ke-80

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *