Kereta Cepat Whoosh, Utangnya Lebih Ngebut dari Keretanya

Kereta Cepat Whoosh, Utangnya Lebih Ngebut dari Keretanya

Ketika proyek Kereta Cepat Whoosh muncul, banyak yang terbuai oleh janji kemajuan. Kecepatan 350 km/jam, desain futuristik, dan label “Proyek Strategis Nasional” seolah menjadi mantra pembangunan. Tapi di balik gemerlap rel dan stasiun megah, tersembunyi utang jumbo yang kini menyeret PT KAI dan konsorsium BUMN ke jurang finansial. Proyek ini bukan lagi simbol lompatan teknologi, melainkan bukti nyata bahwa ambisi tanpa kalkulasi adalah resep bencana.

Biaya awal yang targetnya sebesar US$6 miliar kini membengkak menjadi US$7,2 miliar. Dari pembengkakan itu, 60% menjadi tanggungan konsorsium Indonesia, sisanya oleh China. Ironisnya, kendali teknologi, desain, dan pinjaman tetap di tangan China.

Kita dapat utangnya, mereka dapat infrastrukturnya. PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), sebagai pemegang 60% saham KCIC, kini babak belur. PT KAI, yang memegang mayoritas saham PSBI, mencatat beban keuangan Rp2,56 triliun pada 2024, naik 70% dari tahun sebelumnya. Mayoritas berasal dari kredit investasi yang melonjak tajam. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah lubang hitam yang menghisap likuiditas, mengancam layanan publik, dan membuka pintu bailout yang ujungnya akan dibebankan ke rakyat.

Direktur Utama PT KAI yang baru, Bobby Rasyidin, menyebut proyek ini sebagai “bom waktu”.

Tapi seperti biasa, kejujuran pejabat baru langsung disela oleh politisi lama. Solusi katanya sudah ada di RKAP Danantara. Koordinasi saja, katanya. Seolah utang Rp79 triliun bisa dibereskan dengan rapat bulanan dan jargon “komprehensif”. Sementara itu, opsi lain adalah menjadikan Whoosh sebagai aset negara. Tapi dua-duanya beban. Tetap di KAI beban, diambil negara juga beban. Ini bukan solusi, ini hanya pemindahan penderitaan dari satu lemari ke lemari lain.

Danantara, lembaga investasi yang digadang-gadang sebagai penyelamat, belum menunjukkan satu pun proposal konkret. Yang ada hanya jargon dan janji. Padahal laporan keuangan semester I 2025 sudah menunjukkan kerugian Rp1,625 triliun. Dan itu baru setengah tahun. Jika tren ini berlanjut, angka kerugian tahunan bisa menyamai anggaran pendidikan satu provinsi. Tapi tak ada yang benar-benar bicara soal efisiensi, audit kelayakan, atau evaluasi menyeluruh. Yang ada hanya narasi penyelamatan yang tak menyentuh akar masalah.

Yang lebih menyedihkan, proyek Kereta Cepat Whoosh gagal bukan hanya secara finansial, tapi juga secara naratif. Dulu, Whoosh sebagai simbol kebangkitan Asia Tenggara, sebagai jawaban atas dominasi Jepang. Tapi kini, Jepang kini seolah menahan tawa, yang sejak awal menolak ikut proyek ini karena kalkulasi ekonominya tidak masuk akal. Mereka memilih membangun MRT Jakarta dengan skema yang lebih transparan dan efisien. Sementara kita, dengan semangat “merdeka dari penjajahan teknologi”, justru terjerat utang dan bunga pinjaman yang bisa bertahan hingga 40 tahun.

Pemerintah sebelumnya terlalu sibuk membangun citra, lupa membangun sistem.

Mereka lebih tertarik pada seremoni peresmian daripada audit kelayakan. Bahkan ketika pembengkakan biaya mulai tercium, responsnya bukan evaluasi, tapi penambahan PMN dan pinjaman baru. Seolah-olah utang bisa menjadi jadi aset hanya dengan mengubah label di neraca. Kini, publik harus menanggung konsekuensinya. Tiket Whoosh yang sempat gratis kini tidak lagi. Okupansi belum menyentuh target. Infrastruktur dengan utang luar negeri kini menjadi beban dalam negeri.

Dan yang paling ironis, solusinya adalah menjadikan Kereta Cepat Whoosh sebagai aset negara. Artinya, rakyat harus menanggung proyek yang sejak awal tidak mereka minta, tidak mereka pahami, dan tidak mereka nikmati. Jika ini bukan satire kebijakan publik, lalu apa? Kita punya kereta tercepat di Asia Tenggara, tapi juga utang tercepat membengkak. Punya stasiun megah, tapi juga laporan keuangan yang megap-megap. Proyek strategis nasional, tapi juga strategi nasional untuk menutupi kerugian.

Kereta Cepat Whoosh bukan lagi simbol kemajuan. Ia adalah pengingat bahwa ambisi tanpa akuntabilitas hanya akan melahirkan utang, bukan masa depan. Dan jika pemerintah baru tidak segera bertindak, bom waktu itu akan meledak. Bukan di rel kereta, tapi di neraca negara.

Frank Caprio: Hakim dengan Kebijaksanaan Laksana Bao Zheng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *