Indonesia tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan pada awal tahun 2025.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat pada Januari hingga Februari 2025, ada 40.000 orang telah terkena PHK.
Sementara data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Januari hingga 23 April 2025 tercatat sebanyak 24.036 pekerja mengalami PHK di berbagai sektor industri.
Angka ini tentunya menunjukkan tantangan berat yang tengah menghadang jalan dunia industri Tanah Air.
Mereka umumnya yang terkena PHK merupakan pekerja yang bekerja pada industri di wilayah Jakarta, Tangerang dan Jawa Barat.
Sebut saja ada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang sudah merumahkan puluhan ribu karyawannya, lalu PT Sanken Indonesia.
Kemudian, PT Yamaha Music Indonesia, PT Tokai Kagu Indonesia, PT Danbi International, PT Bapintri (Mbangun Praja Industri), PT Adis Dimension Footwear dan KFC Indonesia.
Lonjakan biaya produksi yang naik hingga 100 persen, belum lagi pelemahan nilai tukar rupiah.
Tak hanya itu, ketidakpastian pasokan bahan baku menjadi beberapa faktor utama pemicu kebijakan ini. Selain itu, permintaan ekspor yang melemah juga memaksa banyak perusahaan memangkas karyawan mereka.
Sektor tekstil, manufaktur, dan teknologi termasuk yang paling terpukul. Penurunan pesanan textil dari pasar internasional menyebabkan banyak pelaku usaha kesulitan menanggung biaya tenaga kerja.
Sementara untuk industri teknologi, sejumlah perusahaan rintisan mengurangi jumlah pegawai sebagai upaya menyesuaikan model bisnis baru yang lebih hemat.
PHK massal ini menimbulkan kekhawatiran besar di masyarakat, terutama bagi keluarga pekerja yang kehilangan sumber penghasilan.
Kesempatan kerja pengganti masih sangat terbatas, sehingga banyak yang beralih ke pekerjaan informal atau usaha mikro untuk sekadar bertahan.
Data BPJS Ketenagakerjaan memperkuat gambaran ini. Hingga 31 Maret 2025, sebanyak 35.000 peserta telah mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Angka ini naik 100 persen atau naik dua kali lipat dari Maret tahun lalu.
Lonjakan klaim JKP ini menjadi bukti nyata, meluasnya dampak badai PHK yang menimpa industri tanah air.
Pengamat ketenagakerjaan menilai, PHK massal ini menandakan perlunya reformasi sistem ketenagakerjaan Indonesia, yang lebih responsif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Digitalisasi dan otomasi makin mengubah lanskap pekerjaan, sehingga tenaga kerja Indonesia harus dipersiapkan dengan keterampilan yang relevan.
Dengan ketidakpastian ekonomi global yang masih berlangsung, badai PHK diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat.
Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil perlu bersinergi mengatasi dampak sosial dan ekonomi, serta memastikan hak pekerja terlindungi dalam situasi krisis ini.(oka)
Tidak ada komentar