Pierre Tendean, si Ganteng yang Punya Nyali Besar

F. G. Tangkudung
20 Okt 2020 02:10
Manadopedia 0 1681
6 menit membaca

Pierre Tendean, si tampan blasteran Manado-Prancis gugur sebagai kusuma bangsa di saat usianya masih sangat muda dan karirnya begitu cemerlang

Bangsa Indonesia kembali mengenang sejarah kelam bangsa ketika sejumlah jenderal menjadi korban keganasan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam usaha kudeta.

Dari sejumlah nama jenderal, terselip satu nama pahlawan revolusi yang masih berpangkat kapten Czi (Anumerta), yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution.

Dialah Pierre Andreas Tendean yang terlahir 21 Februari 1939 di Batavia. Orang tuanya adalah pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis.

Namanya merupakan gabungan nama dari Pieere Albert, kakek pihak ibu dan Andreas nama kakek dari pihak ayah.

Pierre Tendean adalah anak tengah dan lelaki satu-satunya dalam keluarganya yang menetap di Semarang.

Sedari kecil dia ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer. Namun keinginan itu mendapat tentangan orang tuanya.

Sang ayah ingin melihat sang putra menjadi dokter, sedangkan ibunya ingin menjadikannya insinyur.

Baca: Daan Mogot, Berani Bertaruh Nyawa di Usia Muda

Tendean menempuh sekolah dasar di Magelang kemudian melanjutkan SMP dan SMA di Semarang, kota tempat ayahnya bekerja.

Prestasinya terbilang sangat bagus. dia juga sangat unggul dalam bahasa karena menguasai bahasa asing seperti Inggris, Belanda dan Jerman.

Walaupun berasal dari keluarga yang mampu, Pierre kecil adalah sosok yang rendah hati, ramah dan sederhana.

Saat bersekolah, dia tidak pernah mau mengenakan sepatu saat pergi sekolah. Alasannya, untuk menyetarakan dirinya dengan teman-temannya karena merasa senasib sepenanggungan.

Nyali dan sikap bertanggungjawabnya sudah terlihat sejak SMA. Saat itu, Tendean pernah terlibat tawuran dalam sebuah kejuaraan bola voli. Dia tak melarikan diri saat polisi datang.

Akibatnya, Tendean dan beberapa temannya masuk kantor polisi. Ketika sang ayah ingin datang menjemputnya, bisa bisa langsung bebas, namun dia menolak.

Pierre  Tendean justru meminta sang ayah pulang dan meminta polisi memberikan hukuman kedisiplinan sebelum akhirnya pulang.

Selepas SMA, dengan tekad bajanya dia akhirnya bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.

Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1962, dengan pangkat letnan dua, dia menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.

Tahun 1963, Tendean mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setelah lulus, dia bertugas di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD).

Dia menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Berulang kali dirinya berhasil menyamar dan lolos dari sergapan musuh.

Kepiawaiannya dalam tugas intelijen menjadi pembicaraan di kalangan para jenderal.

Setidaknya ada tiga jenderal yang menginginkan Tendean menjadi ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan dan Jenderal Kadarsan.

Jenderal Nasution

Jenderal AH Nasution

Dia akhirnya menjadi ajudan Jenderal Nasution menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjadi anggota Kontingen Pasukan Garuda untuk menjaga perdamaian di Kongo.

Saat mengikuti ujian ATEKAD, dia sempat menginap di rumah mertua Jenderal Nasution. Di situlah Tendean mengenal sosok Jenderal Nasution. Dia juga sangat dekat dengan Jenderal Nasution dan istrinya.

Dalam sebuah testimoni, Jenderal Nasution dan istrinya mengaku sangat menyayangi Pierre Tendean karena sudah menganggapnya sebagai adik.

Dia juga begitu dekat dengan Ade Irma Suryani Nasution, anak jenderal Nasution yang waktu itu masih balita.

Ade Irma sering jalan bersama Tendean berkeliling kota atau sekadar bermain-main di kompleks perumahan.

Berparas tampan dan bertubuh atletis, wajar saja dia menjadi idola para wanita. Apalagi ketika dirinya mengenakan seragam TNI.

Namun, Tendean ternyata sangat setia terhadap wanita bernama Rukmini Chaimin, gadis asal Deli, yang kenalan saat bertugas di Medan.

Dari sebuah kisah, dia ternyata adalah seorang pemalu jika berhadapan dengan kaum hawa.

Saat Jenderal Nasution memberikan kuliah umum di ITB, para mahasiswi heboh saling berebutan salaman dengan Pierre.

Dengan senyum malu-malu nan menghanyutkan, dia hanya bisa menunduk dan berjabat tangan menghormati para fans.

Tendean juga merupakan seorang ‘anak mami’. Meski sudah menjadi tentara, dia sangat dekat dengan sang mami.

Jika ada waktu, dirinya selalu menyempatkan menelepon sang mami dan menanyakan kabar papi dan dua saudara wanitanya.

Jika pulang ke Semarang, dia juga sering membawakan oleh-oleh untuk keluarganya yang dia beli dari gajinya. Meski terbilang dari keluarga berkecukupan, Tendean selalu mengirimkan uang untuk keluarganya.

30 September 1965 lewat tengah malam, gerombolan pasukan Tjakrabirawa datang ke rumah Jenderal Nasution ingin membawa sang jenderal.

Dia yang terbangun karena ada suara tembakan, dengan nyali besarnya langsung menghadang pasukan tersebut kemudian mengaku Jenderal Nasution.

Dalam keadaan gelap, dirinya langsung mendapat paksaan masuk ke dalam truk pasukan, untuk pergi ke suatu tempat.

Sementara sang jenderal, berhasil meloncat pagar dan bersembunyi di rumah kedutaan Irak yang tak jauh dari rumahnya.

Sayang dalam kontak senjata tersebut, Ade Irma juga tertembak dan meninggal lima hari kemudian di RSPAD.

Pierre Tendean dan enam jenderal lain menjadi korban pembunuhan dan jasadnya berada dalam sebuah sumur tua lubang buaya. Dia gugur demi membela tanah air, Republik Indonesia.

Tendean bersama keenam perwira lainnya yakni Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal Haryono dan Letnan Jenderal Siswondo Parman.

Selanjutnya ada Mayor Jenderal Pandjaitan dan Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Mereka kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Ada juga tiga pahlawan lain yang gugur terkait aksi 1 Oktober 1965 yakni AIP Karel Satsuit Tubun, Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiono.

Untuk menghargai jasa Pierre Andries Tendean dan sembilan putra bangsa yang gugur, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.

Itu berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965 dan Keppres No. 118/KOTI/1965 tertanggal 19 Oktober 1965. Pangkat mereka juga secara anumerta mendapat promosi naik satu tingkat.

Untuk mengenang keberanian dan kepahlawan Pierre Tendean, namanya abadi sebagai nama jalan di berbagai tempat di Indonesia seperti di Manado, Jakarta, Balikpapan dan sejumlah kota lain.

Kabar kematian Pierre langsung membuat sang ibunda down. Padahal saat Pierre meninggal, Ibunda baru saja merayakan ulang tahunnya. Pierre berencana pulang ke Semarang tanggal 1 Oktober.

Sejak itu kesehatan mami Pierre terus menurun hingga kemudian berpulang. Saat meninggal sang mami sempat berpesan untuk menutup jasadnya dengan selimut dari Pierre.

Duka mendalam juga melanda sang pujaan hati, Rukmini yang terakhir kali bertemu pada akhir Juli 1965. Padahal dalam pertemuan terakhir, keduanya sudah merencanakan pernikahan pada November 1965.

Pierre Tendean, si tampan blasteran Manado-Prancis gugur sebagai kusuma bangsa di saat usianya masih sangat muda dan karirnya begitu cemerlang.

Biodata:

Nama Lengkap : Kapten Czi (Anumerta) Pierre Andreas Tendean

Orang Tua: Dr. A.L Tendean dan Cornet M.E

Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta, 21 Februari 1939

Meninggal : Jakarta, 1 Oktober 1965 (umur 26)

Gelar : Pahlawan Revolusi

Penulis: F. G. Tangkudung

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *