Sepeninggal Poganick, Opa Mangindaan kemudian menjadi penggantinya. Mangindaan mengandalkan pemain seperti Soetjipto Soentoro, Sinyo Aliandoe Abdul Kadir dan Reny Salaki.
Sejak dulu, Sulawesi Utara memang dikenal banyak melahirkan pesepakbola, pengurus dan pelatih handal.
Bahkan, Sulut mempunyai andil besar saat mendirikan induk organisasi sepakbola Indonesia, PSSI pada 19 April 1930.
Putra asal Sulawesi Utara, Erenst Albert Mangindaan menjadi tokoh yang turut mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Erenst Albert Mangindaan yang kelak lebih populer dengan nama Opa Mangindaan.
Saat itu, Erenst Albert Mangindaan mewakili Indonesische Voetbal Bond Magelang (PPSM Magelang).
Baca: Arie lasut, Ahli Geologi Rebutan Jepang dan Belanda
Mangindaan yang masih berstatus siswa Hoogere Kweek School (HKS) atau Sekolah Guru merupakan kapten kesebelasan IVBM.
Selain Mangindaan, ada Sjamsoedin (VIJ/ Persija Jakarta), Gatot (BIVB/ Persib Bandung), Daslam Hadiwasito, Muhammad Amir Notopratomo, Abdul Hamid (Perserikatan Sepakraga Mataram/ PSIM Yogyakarta).
Ada juga Sukarno (bukan presiden RI I) yang merupakan wakil VVB/ Persis Solo, Pamoeji (SIVB/ Persebaya Surabaya), dan Kartodarmoedjo (MVB/ PSM Madiun).
Meski Indonesia belum merdeka, para tokoh ini ingin menyatukan anak bangsa lewat sepakbola. Semangat itu datang dari momen Sumpah Pemuda dua tahun sebelumnya. Ketika berdiri, perkumpulan tersebut bernama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia.
Mereka akhirnya sepakat memilih Soeratin Sosrosoegondo, sebagai ketua yang pertama di markas Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM/Persis Solo).
Pasca kemerdekaan Indonesia, Sepak bola Indonesia mulai berkembang pesat. PSSI kemudian menunjuk pelatih asal Rusia, Tony Pogacnik untuk memoles tim nasional.
Erenst Albert Mangindaan terpilih menjadi asisten Pogacnik karena pengalaman dan prestasinya di tingkat klub. Indonesia perlahan menjelma menjadi kekuatan hebat di Asia.
Prestasi paling membanggakan yang hingga kini masih terus lekat dalam kenangan, adalah saat Indonesia menahan raja Eropa waktu itu, Uni Soviet 0-0 dalam Olimpiade Melbourne Australia, tahun 1956.
Waktu itu Uni Soviet ada kiper terbaik sepanjang masa yang dijuluki ‘Si laba-laba hitam’, Lev Yashin. Penampilan hebat Indonesia dalam laga itu oleh FIFA menjadi ‘Salah satu hasil paling mengejutkan dalam Olimpiade’.
Prestasi lainnya, Opa Mangindaan turut mengantarkan Indonesia meraih medali perunggu di Asian Games 1958 Tokyo.
Saat itu Indonesia kalah 1-0 atas RRC, yang kemudian menjadi juara setelah melibas Korsel di partai puncak. Di perebutan tempat ketiga, Indonesia menghajar Indonesia India 4-1.
Pada Kualifikasi Piala Dunia Swedia 1958, tim asuhan Poginick dan Opa Mangindaan nyaris menembus putaran final Piala Dunia 1958 di Swedia.
Ketika bertanding melawan RRC di partai pertama babak kualifikasi Asia (12/5/1957), Indonesia menang dengan skor 2-0. Pertandingan ini sangat teringat publik sepakbola nasional, karena gol salto penyerang andalan Indonesia, Ramang.
Giliran Indonesia yang bertandang ke kandang RRC. Indonesia kalah tipis 4-3 dan harus melaksanakan pertandingan ulang di tempat netral (Myanmar). Pertandingan berakhir seri tanpa gol, melajulah Indonesia dengan keunggulan selisih gol.
Di putaran akhir kualifikasi tersebut, Indonesia bergabung dengan Israel, Sudan dan Mesir. Sayang, Indonesia enggan bertanding ke kandang Israel karena alasan politis. Indonesia akhirnya mendapat diskualifikasi.
Menghadapi Asian Games 1962 Jakarta, timnas dengan kepercayaan diri tinggi menyambut target juara.
Namun, skandal ‘suap senayan’ beberapa pilar penting Timnas, membuat pelatih kepala Tonny Poganick terpukul. Alhasil Indonesia hancur lebur saat Hari H.
Indonesia tak lolos kualifikasi grup meski bermain di kandang sendiri. Poganick kemudian mundur dari pelatih kepala.
Sepeninggal Poganick, Opa Mangindaan kemudian menjadi penggantinya. Mangindaan mengandalkan pemain seperti Soetjipto Soentoro, Sinyo Aliandoe Abdul Kadir dan Reny Salaki.
Pada Asian games 1966 di Bangkok Thailand, Timnas Indonesia yang bermaterikan pemain baru berhasil menjadi juara grup. Namun di putaran grup kedua, Indonesia kalah bersaing dengan Burma dan Iran.
Dua tahun setelahnya, Indonesia berhasil meraih juara Piala Raja Thailand pada tahun 1968.
Di level klub, Opa Mangindaan yang menukangi PSM Makassar beberapa kali mengantarkan tim Juku Eja tersebut menjadi juara nasional. Trisula pilihannya menjadi penyerang paling ditakuti waktu itu yakni Ramang, Suwardi dan Nursalam.
Di tanah kelahirannya Sulawesi Utara, nama Opa Mangindaan selalu banjir pujian dan elukan ketika hadir di Stadion Klabat Manado.
Awal tahun 90an, turnamen ‘Piala Opa Mangindaan’ begitu fenomenal. Semua tim berlomba mempersiapkan diri untuk mengikuti turnamen paling akbar di Sulawesi Utara tersebut.
Opa Mangindaan juga turut berjuang membawa Persma ke kasta tertinggi liga Indonesia. Putra Opa Mangindaan, Evert Ernest Mangindaan yang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara selalu mengejawantahkan pemikirannya.
Evert Ernest Mangindaan juga merupakan tokoh PSSI yang fenomenal. Jenderal TNI ini dianggap ‘Midas’ untuk urusan sepakbola di setiap daerah yang menjadi lokasi tugasnya. Setiap daerah yang dia singgahi mulai dari Aceh hingga Papua selalu sukses.
Darah sepakbola Opa Mangindaan yang mengalir kepada putranya tersebut, membuat sepakbola di Sulut makin bergairah. Program 1 juta bola mulai jadi program utama.
Setiap kali berkunjung di setiap daerah, sang gubernur membagikan bola kepada masyarakat. Persatuan Sepak Bola Manado (Persma) pun menargetkan main di liga utama yang sudah bergulir.
Persma yang dalm persiapan sangat matang akhirnya berlaga di liga Utama Indonesia tahun 1996. Persma bahkan masuk jajaran tim elit di Indonesia.
Bukan hanya itu, tim sepakbola PON Sulut berhasil tampil mengejutkan dengan membawa pulang medali perunggu pada tahun yang sama.
Bukan hanya Persma Manado, dua ‘adiknya’ Persmin Minahasa dan Persibom Bolaang Mongondow juga masuk ke liga utama Indonesia.
Stadion Klabat Manado dapat pembenahan dan perawatan rutin hingga sempat menjadi stadion berstandar nasional.
Stadion Klabat Manado bahkan menggelar final Liga Utama Indonesia antara PSIS Semarang Vs Persebaya Surabaya pada 13 April 1999.
Sayang, seiring keputusan pemerintah yang melarang penggunaan APBD dalam membiayai klub membuat Persma perlahan tenggelam.
Para pemain andalan hengkang ke luar daerah. Opa Mangindaan yang makin uzur tak lagi berdaya berjuang sendirian. Dia tinggal bisa membagikan wejangan dan pengalamannya.
Opa Mangindaan akhirnya meninggal dunia 3 Juni 2000, di Kelurahan Pondang, Amurang , Kabupaten Minahasa Selatan pada usia 89 tahun. Pengabdiannya di dunia sepakbola membuatnya terus dikenang dan menjadi legenda sepakbola Indonesia.
Tak lama setelah Opa Mangindaan berpulang ke Sang Khalik, sang putra tak lagi menjabat sebagai Gubernur Sulut.
Kebijakan dan implementasi pemerintah setelahnya tak lagi fokus untuk sepak bola. Akibatnya sepakbola Sulut mati suri. Yang paling miris, ketika Persma Manado dicoret dari daftar anggota PSSI atas rekomendasi FIFA.
Penulis: F. G. Tangkudung