Bernard Wilhelm Lapian lahir tanggal 30 Juni 1892 di Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Dia terkenal menjadi pejuang dalam berbagai bidang.
Bernard Lapian juga menjadi pejuang tiga zaman, karena berjuang sejak muda di zaman pemerintahan Belanda, saat pendudukan Jepang hingga masa awal kemerdekaan.
Dalam sebuah kisah, Bernard mengritik tentang penindasan warga Magelang oleh penjajahan Belanda. Hal itu dia tuliskan dalam surat kabar terbitan lokal Magelang, Pangkal Kemadjoean.
Tulisan kritis dan langka seperti itu memperlihatkan keberaniannya, yang tak pernah mengenal rasa takut.
BW Lapian yang saat itu menjabat ketua cabang Persatuan Minahasa di Batavia pada 1919, makin gamblang menentang penjajahan dalam berbagai karyanya.
Dia kemudian mendirikan surat kabar Fajar Kemadjoean agar lebih leluasa memberikan kritiknya terhadap Belanda.
Baca: Johanna Tumbuan, Saksi Sejarah Sumpah Pemuda
Bernard Lapian juga terus mengobarkan semangat nasionalisme, hingga generasi muda Indonesia saat itu bersatu dalam Sumpah Pemuda 1928.
Pulang ke tanah kelahirannya di Minahasa, dia kemudian melihat nasionalisme masyarakat Minahasa yang mulai menurun.
Saat itu, semua Gereja Kristen berada di bawah naungan Indische Kerk yang berafiliasi dengan pemerintahan Belanda.
Melihat hal itu, dia bersama sejumlah tokoh lainnya kemudian mendirikan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada tahun 1933.
KGPM ini merupakan Gereja independen di luar Indische Kerk, yang menolak bentuk kolonialisme.
Dia juga mendirikan surat kabar untuk menyebarkan idealismenya dan mengobarkan semangat nasionalisme.
Sementara itu, Pada masa pendudukan Jepang, dia menjadi Kepala Distrik (Gunco) yang kemudian menjadi Wali Kota Manado pada tahun 1945.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Agustus 1945, Sam Ratulangi menjadi Gubernur pertama Provinsi Celebes. Saat itu, daerah Sulawesi masih terus bergolak karena Belanda masih berada di sebagian tanah Indonesia.
Sementara itu, Belanda yang tak rela daerah jajahannya dulu merdeka, ingin kembali ‘mencaplok’ Sulawesi.
BW Lapian yang menjadi pimpinan sipil di Manado kemudian berperan penting dalam peristiwa besar saaat melakukan penyerangan terhadap markas Belanda, di Teling.
Pada tanggal 14 Februari 1946, tepat pukul 01.00 Wita, pasukan Tentara Republik Indonesia melakukan aksi penyerangan dke markas KNIL. Pagi harinya, Merah Putih berkibar untuk pertama kalinya di Sulut.
Setelah penyerangan tersebut, Sam Ratulangi yang menjabat Gubernur Celebes, tertangkap dan menjalani pengasingan.
Para pembesar sipil, hukum tua, raja dan kepala daerah melakukan pertemuan. Mereka sepakat BW Lapian menjadi kepala pemerintahan sipil di Sulut.
Dia kemudian segera mengumumkan wilayah Sulut, bekas residen Manado adalah bagian dari pemerintah Republik Indonesia.
Sayang, sebulan kemudian dirinya kembali tertangkap Belanda, pada 11 maret 1946 dan masuk penjara di Teling. Dia lalu berpindah ke Cipinang tahun 1947 lalu pindah lagi ke Sukamiskin pada 1948.
Presiden Soekarno membebaskan BW Lapian setelah penyerahan kedaulatan yang dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949.
Dia menggantikan Sam Ratulangi yang wafat pada 30 Juni 1949, setelah menjadi tawanan Belanda sejak 1946.
BW Lapian kemudian menjadi Gubernur Provinsi Celebes periode 17 Agustus 1950 sampai 1 Juli 1951.
Dia menutup usia di Jakarta 5 April 1977 ketika berusia 84 tahun. Atas perjuangan dan jasanya, dia menerima Bintang Mahaputera Pratama pada tahun 1976, dan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 5 November 2015.
BW Lapian juga pernah menerima penghargaan dari Angkatan Laut (AL) dan Bintang Gerilya.
Namanya abadi sebagai nama jalan di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Biodata:
Nama: Bernard Wilhelm Lapian
Nama Populer: B.W. Lapian
Lahir : 30 Juni 1892
Meninggal: 5 April 1977 (usia 84)
Istri: Maria Adriana Pangkey
Karir: Gubernur Provinsi Celebes ke-2 (1950-1951).
Gelar : Bintang Mahaputera Pratama (1976), Pahlawan Nasional (2015).
Penulis: F. G. Tangkudung
Tidak ada komentar