“Kita bukan sahabat Spanyol, juga bukan sahabat VOC. Mereka hanya ingin mengambil hasil bumi kita,” Bataha Santiago
Penggalan kalimat itu sangat terkenal karena lantang terlontar dari Santiago, raja yang menolak kolonialisme bangsa asing.
Santiago, sudah melegenda di masyarakat Kepulauan Nusa Utara pada umumnya dan masyarakat Kepulauan Sangihe pada khususnya.
Dia melambangkan jiwa patriotisme dalam menentang kolonialisme sejak abad ke-16.
Sayang kini banyak generasi muda tak pernah tahu lagi sejarah perjuangan gagah berani dari pasukan Bataha Santiago.
Baca: Alex Kawilarang, Pendiri Kopassus yang Tampar Soeharto
Santiago lahir di Bowongtiwo (sekarang bernama Desa Kauhis Kecamatan Manganitu, Kabupaten Kepulauan Sangihe) pada tahun 1622 dari pasangan Raja Tompoliu dan Permaisuri Lawewe.
Bernama lengkap Don Jugov Santiago, ia adalah raja ketiga Kerajaan Manganitu yang memerintah pada tahun 1670-1675.
Santiago yang mendapat gelar Bataha (sakti), naik takhta menggantikan ayahnya yang mangkat pada tahun 1670.
Ayahnya merupakan raja kedua Kerajaan Manganitu (1645-1670), yang semasa hidupnya menginginkan Santiago mendapat pendidikan setinggi mungkin.
Itu agar kelak menjadi seorang raja yang cakap dalam memerintah Kerajaan Manganitu.
Keinginan ayahnya dia patuhi pada tahun 1666, saat itu Santiago yang sudah berumur 44 tahun pergi ke Manila, Filipina untuk menuntut ilmu pemerintahan di Universitas Santo Thomas.
Santiago berhasil menamatkan pendidikannya di salah satu Universitas tertua di Filipina ini (berdiri tahun 1611) selama empat tahun.
Pulang ke negerinya pada tahun 1670, Santiago menjadi Raja Manganitu yang ke-3 menggantikan ayahnya yang mangkat pada tahun yang sama.
Ketika memerintah Kerajaan Manganitu, Bataha Santiago menghadapi dengan gencarnya ekspansi VOC untuk menguasai wilayah-wilayah kepulauan Nusantara yang kaya akan rempah-rempah.
Santiago yang semasa studinya di Manila banyak belajar dan memahami bangsa Eropa (biasa disebut bangsa Barat), berkeyakinan bahwa kedatangan bangsa Barat ke Timur adalah untuk menguasai hasil bumi.
“Kita bukan sahabat Spanyol, juga bukan sahabat VOC. Mereka hanya ingin mengambil hasil bumi kita,” koar Bataha Santiago di hadapan rakyatnya.
Semangat patriotik dalam menolak segala bentuk imperialisme di wilayahnya terus berkobar di dada Bataha Santiago. Dia adalah cucu dari Raja pertama Kerajaan Manganitu yaitu Raja Tolosang (1600-1645).
Baca: Larenggam, Kisah Heroik Raja Arangkaa yang Terlupakan
Gencarnya upaya VOC untuk dapat masuk dan menguasai wilayah Kepulauan Sangihe dengan cara membuat sebuah “Lange Contract” (sebuah perjanjian dagang) tak membuat sikap Bataha Santiago atas kolonialisme berubah.
Santiago menolak dan menentang untuk menandatangi perjanjian dagang tersebut karena menurutnya, isi perjanjian tersebut hanya akan merugikan rakyatnya.
Santiago sudah memahami konsekuensi yang bakal kerajaannya terima sebagai akibat dari penolakannya itu yaitu konfrontasi melawan VOC.
Dia kemudian mengumpulkan semua pejabat kerajaan dan para pemuka masyarakat untuk bersiap melawan VOC.
“I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng” (Kita harus menyiapkan pasukan perang, negeri kita jangan dimasuki musuh),” kata Raja Santiago yang melegenda, membakar semangat patriotisme rakyatnya.
VOC yang kecewa dan marah atas penolakan Sang Raja, mengirimkan pasukannya untuk menundukkan Kerajaan Manganitu.
Perang pun tak dapat terhindarkan dan berlangsung selama 4 bulan di laut maupun pesisir pantai. Banyak korban yang jatuh dari kedua belah pihak.
Strategi hebat Raja Santiago adalah menempatkan adiknya yaitu Charles Diamanti untuk memimpin perlawanan di pesisir pantai.
Adik perempuannya, Sapela memimpin pasukan di lereng bukit, sementara Bataha Santiago memimpin langsung pertempuran di laut.
Kemampuan perang yang Bataha Santiago beserta pasukannya membuat VOC sulit mengalahkan pasukan Kerajaan Manganitu.
Kehebatan Sang Raja yang menurut legenda kebal terhadap peluru (terjadi lagi jelang akhir hayat Bataha Santiago).
Pihak VOC yang menderita kerugian besar kemudian mundur dan menghentikan peperangan. VOC yang takluk terhadap pasukan Santiago mencari jalan lain untuk mengalahkan santiago.
VOC menggunakan siasat baru dengan memanfaatkan sahabat dekat Santiago yaitu Sasebohe dan Bawohanggima. Mereka membujuk agar Bataha Santiago tidak lagi melakukan perlawanan dan bersedia melakukan negosiasi dengan VOC.
Misi Sasebohe dan Bawohanggima membuahkan hasil, setelah Bataha Santiago bersedia menemui pihak VOC di Tahuna.
Ketika akan melakukan negosiasi, Bataha Santiago mereka minta untuk menandatangi Lange Contract yang sedari awal dapat penentangan oleh Santiago.
Raja Santiago tetap bergeming atas pendiriannya dan tetap menolak menandatangi perjanjian dagang sepihak tersebut.
Hal ini membuat pihak VOC langsung menangkapnya dan saat itu juga menyiapkan regu tembak untuk mengeksekusi Raja Santiago.
VOC menghadapi kesaktian Batara Santiago yang kebal dengan peluru senjata api. Tak satupun peluru regu tembak VOC menembus tubuh Batara Santiago.
Pihak VOC yang ingin membunuh Raja Santiago, akhirnya mengeksekusinya di tiang gantung.
Bataha Santiago yang merasakan akhir hayatnya sudah dekat, sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya kembali membangkitkan semangat patriotisme untuk para pejuang dengan kalimat terakhirnya
“Biar saya mati digantung, daripada tunduk kepada penjajah,”
Kalimat itu juga terpahat dalam nisan di makam Batahs Santiago.
Raja Bataha Santiago, raja yang terkenal teguh dalam keyakinannya dalam menolak segala bentuk imperialisme barat akhirnya wafat.
Makamnya terletak di Desa Karatung I, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Namanya juga abadi dalam bentuk patung sebagai simbol perjuangan masyarakat Kepulauan Nusa Utara terhadap penjajahan.
Patungnya berada di pulau paling utara Indonesia tepatnya di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Tahun 1964 nama Bataha Santiago diabadikan sebagai nama Korem 131/Santiago, yang pada tanggal 20 Desember 2016 kembali berada di bawah komando Kodam XIII/Merdeka.
Penulis: F. G. Tangkudung
1 komentar