Babe Palar, Diplomat Indonesia Pertama di PBB

Bang Kipot
31 Okt 2020 13:48
Manadopedia 0 878
5 menit membaca

Babe Palar menjadi diplomat terhebat yang pernah Indonesia miliki. Dia menjadi menjadi diplomat Indonesia pertama di PBB dan menjadi satu-satunya orang yang menjadi Duta Besar sebanyak tujuh  kali.

Kini banyak yang generasi muda tak kenal lagi dengan tokoh satu ini. Padahal jasanya bagi Republik Indonesia begitu besar, terlebih perjuangannnya dalam dunia diplomasi.  

Bernama lengkap Lambertus Nicodemus Palar ketika lahir di Rurukan, Kota Tomohon, pada 5 Juni 1900, dia malah lebih populer dengan nama Babe Palar.

Baca: Waruga, sarkofagus Historis di Utara Minahasa

Dia terkenal dengan kemampuan berdiplomasi yang sangat handal. Beberapa posisi penting mewakili Indonesia dalam kancah dunia internasional.

Jasanya atas negeri ini membuat pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia bagi dia pada tahun 2013.

Babe Palar merupakan putra dari Gerrit Palar dan ibunya bernama Jacoba Lumanauw. Babe Palar kecil hidup dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.

Palar mulai menempuh pendidikan formal pertamanya di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tondano.

Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta. Di sana Babe Palar tinggal bersama dengan Sam Ratulangi, putera Minahasa yang juga kelak menjadi tokoh besar.

Saat bersekolah di AMS, bakat berdiplomasinya mulai terlihat. Dia mulai tertarik dengan politik dengan ide nasionalis ketika dia bergabung dengan organisasi pemuda Jong Minahasa.

Lulus dari AMS tahun 1922, dia melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (Institut Teknologi Bandung). Di sini dia bertemu dengan Sukarno dan sejumlah tokoh pemuda nasionalis.

Ketika itu, Babe Palar mengenalkan Sukarno dengan Sam Ratulangi. Sukarno terkesan dengan kepandaian dan visi Sam Ratulangi dalam perjuangan pergerakan Indonesia.

Sayang, dia hanya kuliah sekitar satu tahun karena terserang sebuah penyakit. Palar akhirnya pulang ke kampungnya di Minahasa, Sulawesi Utara.

Sembuh dari sakitnya, dia bekerja di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Namun semangatnya dalam pergerakan Indonesia membuat dia kembali ingin kuliah.

Dia kemudian kembali kuliah tahun 1924, di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta). Sekolah inilah yang nantinya menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Saat kuliah, Babe Palar bertemu dengan anggota Volksraad yaitu J. E. Stokvis, Ketua Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP – Partai Sosialis-Demokrat Hindia).

Ketika tahun 1928, dia pindah ke Roterdam Belanda. Dua tahun berselang, dia kemudian menjadi anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP).

Tinggal di Belanda, dia menjadi Dir Persbureau Indonesia (Persindo) yang rutin mengirim artikel tentang sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda.

Pada tahun 1938, dia kembali ke Indonesia bersama isterinya, Johanna Petronella Volmers, yang dia nikahi pada tahun 1935. Ketika di Indonesia dia melihat pergerakan kemerdekaan Indonesia sedang aktif.

Palar kembali ke Belanda dan menjadi wakil Indonesia di Partai Sosial Demokratik Belanda (SDAP). Namun hubungannya dengan sejumlah tokoh di Indonesia tetap terjalin baik.

Dia kemudian terpilih untuk masuk Tweede Kamer mewakili Partij van de Arbeid (PvdA), sebuah partai baru yang bermula dari SDAP. Saat itu, Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya.

Meski sudah merdeka, Belanda tak pernah ikhlas menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia. Dia menunjukkan kemampuan berdiplomasi saat mendesak penyelesaian konflik antara Belanda dan Indonesia tanpa kekerasan.

Namun ternyata, Belanda melakukan penyerangan tanggal 20 Juli 1947 yang dikenal dengan peristiwa agresi Militer I. Saat itu, dia kecewa kemudian mengundurkan diri dari dewan perwakilan dan partainya.

Presiden Sukarno mendengar hal tersebut langsung memintanya pulang dan mengajak Babe Palar berjuang bersamanya.

Babe Palar kemudian menjadi utusan Sukarno mengadi juru bicara Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia merupakan wakil Indonesia pertama di PBB.

Tahun 1947, Palar bersama Sudarpo, Soedjatmoko dan Sumitro kemudian membuka kantor perwakilan RI di New York, Amerika Serikat.

Dalam kurun waktu tersebut, dia menunjukkan kemampuan berdiplomasinya.

Babe Palar terus mendesak sejumlah negara di PBB untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengecam Agresi Militer yang dilakukan Belanda.

Setelah Perjanjian Roem Royen mendapat persetujuan 2 pihak, kemudian berlanjut pada Konfrensi Meja Bundar (KMB), Belanda akhirnya takluk dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Indonesia akhirnya menjadi anggota PBB ke-60 pada 1950 dengan status keanggotaan penuh, yang sebelumnya hanya berstatus peninjau.

Babe Palar menjadi diplomat Indonesia pertama di PBB kemudian berpidato di hadapan sejumlah negara anggota.

Babe Palar mengucapkan rasa terima kasih kepada negara pendukung status Indonesia dan berjanji melaksanakan kewajibannya sebagai anggota PBB.

Usai menjalani momen bersejarah tersebut, Babe Palar kemudian menjadi Duta Besar Indonesia di India.

Tahun 1955, kemampuan berdiplomasinya kembali menjadikannya kembali ke Indonesia.

Babe Palar menjadi wakil Indonesia dalam persiapan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, yang berisi sejumlah negara Asia dan Afrika yang baru meredeka.

Usai Konfrensi Asia Afrika I yang berlangsung di Bandung, dia kemudian kembali menjadi Duta Besar RI untuk Uni Sovyet merangkap Jerman Timur selama dua tahun.

Selanjutnya Palar menjadi Dubes RI untuk Kanada selama lima tahun. Dia kemudian kembali menempati posnya sebagai wakil Indonesia di PBB.

Awal tahun 1965, konfrontasi Indonesia dan Malaysia memanas. Namun Malaysia justru masuk menjadi anggota PBB.

Presiden Sukarno kemudian menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Dia kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.

Ketika Indonesia melakukan suksesi kepemimpinan dari Presiden Sukarno kepada Presiden Suharto, Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Hal itu berawal dari permintaan Babe Palar kepada Sekjen PBB saat itu, U Thant asal Burma.

Dia kemudian pensiun dari tugas diplomasinya tahun 1968. Setelah kembali ke Jakarta, dia masih giat mengajar dan kerja sosial.

Babe Palar juga tetap menjadi penasihat perwakilan PBB meski sudah pensiun.

Kemampuan berdiplomasinya sangat mengundang kagum sejumlah pemimpin dunia saat itu.

Tahun 1981, Lambertus Nicodemus atau Babe palar menghembuskan nafasnya yang terakhir di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta di usia 80 tahun 8 bulan.

Baca juga: Henk Ngantung, Gubernur Jakarta yang Nasibnya Tragis

Dia meninggalkan istrinya Johanna Petronella Volmers atau populer dengan Suz Yoke dan ketiga anaknya, Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar.

Babe Palar mengamanatkan agar jasadnya dimakamkan di Tanah Kusir, meski Presiden Soeharto menghendakinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tahun 2013, semasa pemerintahan Presiden SBY, perjuangan diplomasinya selama hidup mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Babe Palar dianugerahkan gelar pahlawan bersama Dr. Rajiman Widyodiningrat dan TB Simatupang.

Babe Palar menjadi diplomat terhebat yang pernah dimiliki Indonesia. Dia menjadi menjadi diplomat Indonesia pertama di PBB dan menjadi satu-satunya orang yang menjadi Duta Besar sebanyak tujuh  kali.

Biodata:                                                                                                                       

Nama: Lambertus Nicodemus Palar

Nama Populer: Babe Palar

Lahir : Tomohon 5 Juni 1900

Meninggal: Jakarta 13 Februari 1981

Istri: Johanna Petronella Volmers

Anak: Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo dan Bintoar Palar.

Penghargaan:  Pahlawan Nasional Indonesia (2013).

Penulis: F. G. Tangkudung

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *