Dari beberapa literatur, beberapa abad lalu para leluhur menggelar ritual Tulude setiap tanggal 31 Desember.
Sekelompok anak muda tampak begitu bersemangat mengikuti tarian Masamper di bawah pimpinan seorang tetua adat.
Baca: Makam Imam Bonjol, Cagar Budaya Peringkat Nasional
Mereka tampak kaku dan kurang menguasai lagu yang tersebut jika membandingkan dengan generasi di atas mereka.
Meski begitu, mereka terlihat gembira mengikuti irama nyanyian tersebut. Maklum, generasi sekarang lebih familiar dengan goyangan disco atau irama boyband Korea.
“Nilai budaya asli leluhur harus tetap kami lestarikan sebagai generasi muda,” ucap Gian Thomas, mahasiswa Unsrat Manado.
Tarian riang gembira nan penuh semangat itu adalah tarian masamper.
Tarian Masamper ini seadalah sebuah seni menyanyi dan menari khas masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sitaro, Sangihe dan Talaud), Sulawesi Utara.
Tari Masamper yang melibatkan kelompok penari sekaligus penyanyi tersebut menjadi bagian dari acara Tulude.
Dari terminologi kata, Tulude atau Menulude berasal dari kata Suhude yang berarti tolak. Secara umum berarti menolak/melepas tahun yang lama dan menerima tahun yang berjalan.
Perayaan Tulude ini mirip dengan budaya pengucapan di Minahasa, sebagai ungkapan syukur terhadap Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Ungkapan syukur ini untuk segala berkat di tahun yang telah lewat dan memohon limpahan rezeki, kesehatan dan perlindungan di tahun yang akan dijalani.
Upacara ini merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara yang telah berabad-abad dilaksanakan.
Sebelum agama masuk, Upacara Tulude berawal dengan ritual khusus di tepi pantai untuk mendorong sebuah perahu kecil yang berisi muatan tertentu, termasuk perhiasan ke tengah laut.
Tokoh adat kemudian melepas perahu ini ke tengah laut sebagai persembahan. Prosesi ini simbol menolak bencana di tahun yang akan berjalan.
Ketika agama masuk ke wilayah Nusa Utara pada abad ke-19, prosesi animisme seperti itu secara perlahan terkikis karena menganggapnya sebagai sesuatu yang mubazir.
Memasuki acara Tulude, akan ada kue adat tamo di rumah seorang tokoh adat.
Kue tamo adalah penganan yang terbuat dari beras ketan bercampur dengan gula merah dan santan lalu membentuk kerucut seperti nasi tumpeng.
Bagian puncak kue tamo akan berhias kertas berwarna-warni berbentuk panji atau bendera. Kue tamo sebagai hidangan inti ini sebagai simbol penghargaan tertinggi untuk para tamu.
Sebelum acara pemotongan kue tamo, akan ada tari-tarian pasukan pengiring seperti Tari Gunde, Tari Salo, Tari Kakalumpang, Tari Empat Wayer dan Tarian Masamper.
Acara inti mulai ketika pemimpin upacara menetapkan tokoh adat yang akan memotong kue adat tamo, selanjutnya ucapan doa keselamatan.
Barulah kemudian seluruh warga yang hadir bersama para tokoh dan pimpinan daerah untuk beracara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).
Dari beberapa literatur, beberapa abad lalu Tulude, para leluhur melaksanakan Tulude setiap tanggal 31 Desember. Namun waktu tersebut akhirnya mundur karena kesibukan menghadapi perayaan Natal dan Tahun Baru.
Pada tahun 1995, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud, menetapkan 31 Januari sebagai Hari Ulang Tahun Kabupaten Sangihe Talaud dengan acara inti upacara Tulude.
Ketika perayaan Tulude di Nusa Utara, beberapa tokoh akan mendapat gelar adat. Mereka juga akan mendapat karena sudah memberikan kontribusi positif untuk kemajuan Nusa Utara.
Kini, perayaan Tulude bukan hanya terlaksana di tanah asal namun di semua perkampungan Nusa Utara di Sulawesi Utara atau Indonesia.
Penulis: F. G. Tangkudung