Penghujung era 60-an, tepatnya tahun 1968, Arter, seorang petenis kulit hitam berkebangsaan Amerika Serikat mencetak sejarah.
Arter, begitu dia dipanggil, menjadi orang berkulit hitam pertama yang menjadi juara grand slam. Latihan dan kerja kerasnya selama belasan tahun menuai hasil.
Baca: Tak Perlu Malu Terlahir Miskin
Dalam partai final, dia mengalahkan petenis tangguh asal negara kincir Angin, Belanda, Tom Okker.
Partai itu dilangsungkan 8 September 1968 di West Side Tennis Club, Forest Hills, Queens, New York City, United States.
Petenis kelahiran Richmond Virginia 10 Juli 1943 itu, memulai partai final dengan cukup baik. Namun, Tom melakukan perlawanan sengit.
Arter berhasil meraih set pertama dengan susah payah, 14-12. Set kedua, gantian Tom yang berhasil mempecundangi Arter, 5-7.
Set penentuan, partai puncak grand slam tersebut akhirnya menahbiskan Arter sebagai juara baru usai menang 6-3. Puluhan pendukung tuan rumah bersorak. Namanya abadi dalam sejarah tenis dunia.
Arter yang menjadi ikon perlawanan kulit hitam untuk persamaan hak, terus menunjukkan prestasinya.
Dia dipanggil membela tim Piala Davis Amerika Serikat. Lebih dari satu dekade namanya selalu berada di jajaran top 10, petenis terbaik dunia.
Nahas, pada satu hari di tahun 1979, Arter terkena serangan jantung. Sebuah pukulan telak baginya. Dia harus naik meja operasi by pass. Dua kali dia menjalani operasi, agar bisa kembali ke lapangan tenis.
Namun, belum sembuh dari penyakit jantungnya, dia kembali mendapat kabar buruk lain oleh tim dokter.
Arter terinveksi virus HIV/AIDS, karena transfusi darah ketika operasi. Hal itu memaksanya gantung raket tahun 1980 pada usia 36 tahun.
Sejak itu, Arter menjadi aktivis HIV/ AIDS, selain aktivis kemanusiaan persamaan hak untuk kulit hitam. Dia ikhlas menjalani hari-harinya dengan senyum dan kebahagiaan.
Satu ketika, seorang penggemar berkirim surat kepadanya.
Dengan senyum kesabaran, Arter menulis surat balasan untuk penggemarnya itu.
“Dalam dunia ini, kurang lebih ada 50 juta anak ingin bermain tenis. 5 juta anak yang bisa belajar tenis. 500 ribu anak fokus latihan untuk menjadi pemain tenis profesional,” katanya.
Arter melanjutkan, dari 500 ribu anak itu, hanya 10 persen lagi atau 50 ribu yang konsisten bertanding di kejuaraan resmi.
“Seleksi dan kontestasi membuat tinggal sepuluh persen atau 5000 anak yang bisa mengikuti turnamen grand slam. Lalu, tinggal 50 anak terbaik yang bisa mencapai Wimbledon,” lanjut Arter.
“Namun, hanya empat orang yang bisa berhasil masuk babak semifinal. Dua orang kemudian masuk ke final. Dan juaranya, hanya satu orang,” tambah dia.
“Ketika mengangkat trofi Wimbledon, saya bersyukur kepada Tuhan. Sekarang ketika menerima sakit, saya tetap bersyukur. Hal itu adalah rencana Tuhan. Tak perlu bertanya, kenapa harus saya?,” kata Arter.
Jawabannya kemudian menjadi viral, dimuat sejumlah media dan menjadi inspirasi untuk banyak orang.
Dia akhirnya menghembuskan nafasnya terakhirnya, 6 Februari 1993 ketika berusia 49 tahun.
Dua hari sebelum wafat, dia masih sempat tampil di depan publik untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS, dalam The Connecticut Forum, 4 Februari 1993.
Petenis kulit hitam bernama Arter itu adalah Arthur Ashe. Pemenang 3 gelar grand slam yakni US Open 1968, Australian Open 1970, dan Wimbledon 1975. Total Arthur Ashe mengoleksi 76 titel juara.
Nama Arthur Ashe abadi menjadi nama lapangan utama kompleks pergelaran US Open, USTA Billie Jean King National Tennis Stadium, Flushing Meadows, New York.
Arthur Ashe Stadium adalah stadion tenis terbesar di dunia dengan kapasitas 23.771 penonton.
Penulis: Farezell Gibran
Tidak ada komentar