Ketika musim 1984/1985, tepatnya tanggal 20 Januari 1985 saat bertemu Udinese, pelatih AC Milan kala itu Nils Liedholm memasukkan pemain belia bernama Paolo Maldini untuk bermain sebagai bek kanan di babak kedua.
Usai pertandingan, banyak yang terkesan dengan permainannya. Karena kemampuan kedua kakinya nyaris sama, di musim berikutnya Maldini menjadi bek kiri.
Siapa sangka, pemain tersebut akhirnya menjadi legenda dalam dunia sepakbola. Lawan begitu menyegani sekaligus menghormatinya. Sejak debut tersebut, Maldini menjadi bagian tak terpisahkan dari klub AC Milan.
Paolo Maldini memang lahir dengan darah pesepakbol. Ayahnya, Cesare Maldini adalah kapten tim AC Milan era 60-an, termasuk saat menjuarai menjuarai Piala Champions pada tahun 1963.
Dari kecil, Maldini memang bercita-cita menjadi penerus ayahnya berkarir dalam dunia sepak bola. Dengan postur 188 cm, Maldini menjadi bek modern dengan kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya.
Yang paling publik sepakbola ingat, tentu saja kesetiaannya bersama AC Milan. Selama 25 tahun dia menjadi bagian kehebatan tim merah hitam tersebut.
Paolo Maldini juga menjadi satu-satunya pemain yang masuk dalam tiga The Dream Team Milan. Dalam kurun waktu itu, Maldini merengkuh berbagai trofi termasuk gelar individu.
Akhir tahun 1980-an, tak lama setelah Sivio Berlusconi membeli AC Milan, Maldini muda langsung masuk tim penuh hasrat di bawah asuhan Arigo Sachi.
Berpadu dengan Donadoni dan Ancelotti serta trio Belanda, Gullit, Rijkaard dan Basten, the dream team I AC Milan berhasil meraih juara Seri A 1987-1988, Piala Super Italia 1988 dan Piala Champions 1989 dan 1990. Selanjutnya, Piala Super Eropa 1990 dan 1991, Piala Toyota 1990 dan 1991.
Waktu pun bergulir, di awal tahun 1990-an terjadi friksi di tubuh AC Milan, perseteruan Basten dan Sachi membuat Milan harus mengganti pelatih.
Trio Belanda yang hengkang, juga membuat manajemen mengambil langkah untuk menambah amunisi baru. Fabio Capello akhirnya menukangi AC Milan. Maldini kembali menjadi bagian the dream team baru yang bahkan kekuatannya lebih hebat.
Kuartet lini belakang hanya ditambah Christian Panuccci sebagai pelapis Tasotti. Sedangkan lini tengah dan depan terjadi penyegaran.
Hasilnya, the dream team II Milan meraih sejumlah gelar, Juara Seri A 1991-1992, 1992-1993, dan 1993-1994, juara Piala Italia 1992, 1993, dan 1994.
Kemudian, juara Piala Champions 1994; juara Piala Super Eropa 1995. Maldini menjadi runner up pemain terbaik FIFA tahun 1995.
Dalam periode ini, Maldini bersama kiper Paolo Rossi dan lini pertahanannya membuat rekor sebagai pertahanan terkuat di liga Italia. Mereka berhasil mempertahankan 929 menit tanpa kebobolan. Namun perlahan, para rival mulai bangkit. Sementara AC Milan mulai terpuruk.
Di sinilah periode buruk Maldini, setelah gagal di final piala dunia 1994, Milan juga kalah dari Ajax Amsterdam di final liga champion 1995. Tahun 2000, Maldini bersama Italia harus kalah dramatis dari Perancis di Final piala Eropa 2000.
Tahun 2002, dia kembali harus menelan pil pahit, setelah Italia kalah mengejutkan dari tuan ruah Korea Selatan di Piala dunia.
Waktu itu dia menjadi biang kegagalan karena membiarkan Ahn Jung Hwan melakukan heading sehingga menciptakan gol kekalahan yang membuat Italia tersingkir.
Maldini tetaplah Maldini, setia dengan pilihannya. Dia berjanji tetap bersama Milan meski harus mengarungi periode kelam tanpa prestasi.
Buah kesabaran Milan, hingga awal tahun 2000-an ketika mantan rekan setimnya, Carlo Ancelotti menjadi pelatih. Dia punya semangat baru. Di lini belakang dia mendapat duet yang tangguh Nesta.
Sementara di lini tengah diisi Gatusso, Ambrossini, Rui Costa, kaka, Seedorf dan Rivaldo. Lini serang bergantian jadi milik Shevchenko, Inzaghi dan Gilardino.
Milan meraih sejumlah gelar juara Seri A 2003-2004, juara Coppa Italia 2004, juara Liga Champions 2003 dan 2007. Kemudian, juara Piala Super Eropa 2003 dan 2007, juara Piala Toyota 2008 dan runner up 2004.
Setelah mengarungi karir selama 25 tahun di sepakbola, 24 Mei 2009, sang legenda melakoni partai terakhirnya di kandang Milan, Stadion San Siro saat menjamu AS Roma.
Semua sudut stadion membentangkan spanduk Grazie Paolo atau Terima Kasih, Paolo. Maldini bahkan haus menenangkan Andrea Pirlo karena menangis tesedu-sedu melepas sang legenda.
Untuk menghormati kontribusi dan kesetiaan dari Maldini, AC Milan akhirnya menyimpan kaos Maldini bernomor 3.
Meski ternoda dengan kekalahan akibat gol Totti dan serta bentangan spanduk mengejek dari Curva Sud Milano, fans fanatik Milan, laga perpisahan itu begitu emosional.
Baca juga: Franz Beckenbauer, Pelopor Libero Modern
Semua pecinta sepakbola merasa kehilangan legenda dan seorang pemain terbaik yang pernah lahir. Pep Guardiola bahkan mendedikasikan gelar juara liga champion yang baru saja dia raih, untuk perpisahan itu.
Maldini memang selalu mendapat hormat dari kawan maupun lawan. (Bang Kipot).
Tidak ada komentar