Apa penyebab Musik Kolintang terjegal ke UNESCO? Sebabnya, ialah baik pengusul (para ahli seni-budaya tradisional kolintang, organisasi sponsor, Pemerintah Daerah/ dinas kebudayaan) maupun penilai di kementerian kebudayaan/pendidikan nasional (yang mesti berpretensi sebagai lebih ahli), sama tidak mengerti hakikat kebudayaan.
Padahal yang syarat UNESCO adalah soal kebudayaan dan tidak boleh kurang dari itu.
Khusus ihwal tersebut terakhir bahwa syarat UNESCO adalah mengenai budaya dan bukan semata seni musik para penilai di Kemendikbud cukup mengerti, dan menjalankan tugas mereka secara sadar.
Hanya saja, lantaran mereka berangkat dari pemahaman yang kurang mengenai science of culture maka tanpa sadar mereka gagal menilai secara objektif.
Sederhananya, konkretnya, di antaranya, mereka cuma lebih terpaku pada budaya sebagai artifak. Bukan justru sumber dan dasar dari artifak itu sendiri yaitu sistem nilai, frame of values. Yang justru dengan itulah suatu entitas budaya menjadi sah sebagai world-heritage karena nilainya itu universal wataknya!
Realitas yang sangat mencengangkan peneliti antropologi budaya Hetty Palm; sayang sekali fenomena yg sampai mencengangkan mevrouw cerdas itu justru tidak dilihat sebagai fenomena tersendiri yang justru lebih penting: bahwasanya tou Minahasa (Orang Minahasa) melakukan ‘bumi hangus’ artifak budayanya itu berdasar keputusan rasional tidak semua lantaran diberangus oleh rezim kolonialisme Gereja Barat.
Dan keputusan rasional itu lahir dari rahim suatu frame-of-cultural-values tertentu.
Kurang-lebih sama dgn sistem simbol-fisikal dalam berkomunikasi, yang menjadi embrio sistem aksara yang menurut saya sudah terlanjur diaborsikan sendiri oleh leluhur kita seiring keberhasilan di front lain manakala mereka mulai bereksistensi sebagai komunitas pertama di Nusantara/Asia-Tenggara yang dengan spirit tumani (melanglang buana), forward-looking, out-reaching ( menurut penelitian Prof. Dobb dari Universitas London).
Nah, para penilai di Kemendikbud samasekali tidak tahu sejarah serta kondisi kekinian budaya Minahasa itu.
Malah lebih parah lagi, mereka ikut hanyut dalam persepsi umum mengenai “orang Manado” yang selamanya hanya terapung-apung oleh arus mode, bahkan leading dalam perlombaan kemutakhiran mode.
Minahasa dipersepsi sebagai berbudaya portable, budaya tanpa pijakan.
Dan persepsi dangkal inilah yang jelas menjadi bias besar dalam mereka menilai keabsahan kolintang sebagai budaya asli Minahasa.
Maka, ke hadapan penilai yang berpenilaian bias itulah para pengusul “kolintang goes to UNESCO” datang dengan sikap lugu dan hati polos, silih berganti mengajukan naskah akademisnya, tanpa mempertimbangkan persepsi budaya keliru dari para penilai itu.
Jadi, sebagaimana yang sudah saya ulang-ulang katakan sejak tahun 2015, bukan penyusun naskah akademisnya yang salah, tapi penilainya yang berangkat dari sistem penilaian yang salah.
Prof. Rumengan dengan kejujuran/integritas seorang peneliti sains, sengaja memagari kolintang ke dalam kurungan kecil: kolintang sebagai musik ansamble kayu.
Dengan itu Rumengan melangsungkan dua strategi penting yakni menyiangi kolintang dari sejarah yang bisa menunjuk bahwa kulintang bukan tradisi asli. Itu hanya ex-import. (misalnya para penulis sejarah kulintang yg merasa lebih lengkap jika menyebut temuan alat kolintang logam, bonang, dan sebagainya).
Sekaligus dengan “ansambel kayu” itu Rumengan menunjuk bahwa kolintang adalah prestasi kultural berupa karya original pribumi yang sangat signifikan. (bukan kelanjutan tradisi orchestra Barat sebagaimana persepsi yang hendak diabadikan melalui nomenklatur alat kolintang seperti “celo”, “contra-bass” dan sebagainya).
Tetapi begitulah, lantaran penilaian yang bias tadi, upaya Rumengan untuk menunjukkan prestasi leluhur Minahasa itu justru mengukuhkan persepsi sempit mereka.
Misalnya ketika Rumengan menyebut Musik Ansambel Kayu Kolintang sudah menggunakan sistem tangga nada diatonic layaknya musik barat sejak Gregorius.
Baca juga: Musik Makaaruyen, Suara Rintihan Hati Orang Minahasa
Para penilai bukannya melihat itu sebagai prestasi kultural yang tak sembarang leluhur bangsa-bangsa dapat mencapainya. Tapi sebaliknya mengukuhkan persepsi mereka bahwa Minahasa cuma jago mengimport karya budaya asing.
Pendek kata, kian jauh dari kriterium kultural indigenous yang jadi syarat UNESCO.
Taintu!
Penulis: Benni E. Matindas
Tidak ada komentar