Manee adalah cara menangkap ikan yang sulit masuk logika, layaknya aksi pesulap kesohor David Copperfield.
Beranda utara Indonesia, Kabupaten Kepulauan Talaud ternyata menyimpan banyak khazanah budaya, yang belum terendus publik.
Baca: Udamakatrya, Bukti Talaud Bagian dari Majapahit
Salah satunya adalah Manee, tradisi unik masyarakat Kakorotan-Intata, Talaud dalam menangkap ikan.
Penangkapan ikan ini tidak menggunakan jaring atau alat tangkap modern lainnya.
Medianya bernama Sami, yakni hanya berupa tali hutan yang berlilit janur kelapa.
Siapapun yang melihat cara tangkap ini, pasti akan kagum, geleng-geleng bahkan bergidik tak percaya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 106 tahun 2013 menetapkan traadisi ini menjadi warisan budaya nasional.
Kini setiap tahun, Festival Manee menjadi destinasi wisatawan di Kepulauan Talaud.
Manee memang kental dengan ritual adat, tak sembarang orang bisa melakukannya. Konon tradisi ini sudah dimulai sejak abad 16.
Dari definisi, Manee berasal dari kata See atau sasahara yang artinya kesepakatan atau pernyataan setuju.
Masyarakat sepakat tidak mengambil hasil laut di sekitar pulau ini selama masa tertentu. Warga setempat menyebut sebagai masa Eha, berlangsung selama 3 hingga 6 bulan.
Jika ada yang melanggar, sang pelanggar bakal kena sanksi adat dan sosial, mereka akan nendapat pengarakan mengitari kampung dengan ikan curian yang tergantung di badan.
Proses ritual Manee terdiri dari sembilan tahapan. Sebelumnya, para tetua adat yang jago melaut, sudah menentukan waktu pelaksanaan Manee.
Dengan hitungan tradisional, mereka tepat menetapkan hari dimana terjadi surut terjauh di pantai. Biasanya festival Manee dilaksanakan medio Juni.
Jelang hari H, para tetua adat akan melakukan pemotongan tali hutan (Maraca Pundangi) dari dalam hutan.
Yang bertugas bukan sembarang orang, tapi para pemuda lokal Kakorotan-Intana yang terpilih oleh para tetua adat.
Mereka akan memotong tali hutan kemudian melingkarkan janur kelapa (Mamabi’u Sammi). Panjang Sami kurang lebih 2-3 KM.
Selanjutnya, para tetua menggelar upacara untuk bermohon kepada Yang Kuasa (Mangolom Par’ra) agar mendapat cuaca dan hasil yang baik serta melindungi masyarakat dari marabahaya.
Ritual bernama Malahaan ini dilaksanakan sehari jelang hari pelaksanaan Manee. Mereka lalu mendoakan perlengkapan seperti perahu dan sami, agar pelaksanaan tidak menemui kendala.
Peran Ratumbanua (kepala desa) juga sangat vital, karena merupakan tokoh adat yang sangat berpengaruh. Dialah yang akan memimpin ritual sejak persiapan hingga pembagian hasil kepada masyarakat.
Para tetua adat kemudian akan meninjau lokasi tempat pelaksanaan festival Manee (Mattuda Tampa Pane’can).
Setelah meminta izin kepada Yang Kuasa, para tetua kemudian membawa Sami ke laut (Mamoto’u Sammi). Sami akan diatur berbentuk setengah lingkaran di bagian laut.
Namun sebelum itu, ada upacara. Ratumbanua akan membacakan semacam mantra dalam bahasa daerah.
Masyarakat dan wisatawan belum boleh mendekati laut, apalagi mengeluarkan suara berisik. Jika itu telanggar, ikan yang sudah tertangkap akan pergi dan kembali ke laut.
Larangan lain, dalam pelaksanaan Manee, tidak boleh ada masyarakat yang menggunakan baju berwarna merah.
Ketika upacara selesai, maka beramai-ramai masyarakat akan mengitari wilayah ujung Sami dari kiri dan kanan.
Mereka akan beramai-ramai menarik Sami. Sami akan membentuk ruang kurang lebih 1500 m2 di tepi pantai.
UNIKNYA, ruang seluas itu akan penuh dengan jutaan ikan berbagai jenis. Ikan-ikan tersebut seakan tak kuasa melewati tali hutan yang sudah melingkar janur kelapa tersebut.
Ratumbanua kemudian mendapat kesempatan pertama untuk melakukan penangkapan ikan (Manganu Ina).
Dengan tombak, Ratumbanua menangkap ikan pertama. Jika ada pejabat yang hadir, mereka akan mendapat kesempatan yang sama, usai Ratumbanua.
Usai penangkapan secara simbolik oleh Ratumbanua dan para pejabat, barulah masyarakat boleh menangkap ikan beramai-ramai dan saling berbagi (Matahia Ina).
Pemandangan yang tersaji menjadi fenomena luar biasa. Dengan tangan kosong, masyarakat akan mengambil ikan hidup yang terhampar.
Sepanjang pantai nantinya akan menjadi tempat membakar ikan dan makan bersama-sama. Ini menjadi ungkapan syukur masyarakat kepada Yang Kuasa atas nikmat Tuhan (Manarm’Ma Alama).
Pesan moral festival ini adalah rasa syukur kepada Yang Kuasa serta hubungan timbal balik alam dan manusia.
Rasa bersyukur kepada Yang Kuasa menjadi kunci terbukanya pintu rezeki dari alam. Jika masyarakat mampu menjaga alam, maka alam juga akan memberikan hasilnya.
Kala itu, Pulau Kakorotan induk terbelah menjadi tiga bagian yang kini terkenal sebagai Pulau Kakorotan, Pulau Intata dan Pulau Malo.
Hanya empat pasang warga yang selamat, yang kemudian menjadi nenek moyang empat suku Kepulauan Kakorotan-Intata, yaitu Waleuala, Pondo, Melonca dan Parapa.
Ketika mereka dalam kesusahan pangan, datanglah dua orang misterius.
Mereka menunjukkan cara menangkap ikan dengan mengerak-gerakkan dedaunan di dalam air. Kedua orang itu lalu mengajarkan cara itu sebelum berlalu.
Untuk menempuh Pulau Kakorotan, harus melewati perjalanan jauh. Dari Manado, Ibukota Sulut, wisatawan harus menggunakan pesawat menuju Melonguane.
Pulau Kakorotan berjarak 3-5 jam perjalanan Feri/Speedboat dari Melonguane, pusat Kota Talaud.
Sementara itu, dari Kakorotan menuju Intata, tinggal menaiki Speedboat kurang lebih 15-20 menit.
Dengan pasir putih menghampar, pulau ini sering disebut surga bagi para wisatawan pecinta pantai.
Penulis: F. G. Tangkudung
Tidak ada komentar