Sejarah Larenggam, Raja Arangkaa yang memimpin pasukan untuk bertempur dengan gagah berani melawan Belanda pada akhir abad 19 di Kepulauan Talaud.
==
Kabupaten Kepulauan Talaud, daerah paling utara di Indonesia, ternyata menyimpan banyak cerita dan sejarah unik.
Selain cerita Kepulauan Talaud dulunya bernama Udamakatraya, yang merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit, ternyata daerah ini masih memiliki banyak kisah dan peninggalannya.
Baca: Udamakatraya, Bukti Talaud Bagian dari Majapahit
Salah satunya, Talaud pernah memiliki seorang Panglima Perang, kemudian menjadi raja, yang bernama Larenggam Sumalle Pahlawan Asal Talaud.
Dia begitu hebat dan gagah berani bertempur melawan belanda, jauh sebelum berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.
Perjuangannya, mirip dengan pejuang asal Sangihe Raja Bataha Santiago, yang juga menolak tunduk kepada Belanda.
Baca: Bataha Santiago, Raja Pemberani Penakluk VOC
Larenggam Sumalle adalah Raja Arangkaa, yang memimpin pasukan untuk bertempur dengan gagah berani melawan Belanda pada akhir abad 19. Miris, tak banyak generasi muda asal Talaud bahkan Sulawesi Utara yang tahu akan kisah heroik ini.
Tokoh Masyarakat Talaud, yang juga punya temali keturunan langsung dari Raja Manee Binilang, Adolf Seweran Binilang kepada Newsantara.id bercerita mengenai hal tersebut.
“Rajanya bernama Manee Binilang. Wilayahnya meliputi Arangkaa, Taruan, Gemeh, dan Taturan. Selain Kerajaan Arangkaa, banyak kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pulau Sangihe dan Talaud,” kata Adolf yang pernah menjabat Sekretaris Daerah dan Plh Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud.
Menurutnya, sejak berdirinya kerajaan hingga masa kepemimpinan Raja Manee Binilang, rakyat hidup damai dan berkecukupan mengandalkan hasil pertanian dan laut.
Pada tahun 1890, Raja Manee Binilang mangkat, Larenggam naik takhta menjadi Raja Kerajaan Arangkaa.
Dari catatan, Kerajaan Arangkaa berdiri tahun 1810 dengan raja pertama bernama Raja Tawoe (1810-1851). Selanjutnya, Raja Manee Binilang (1851-1890) hingga terakhir Raja Larenggam Sumalle (1890-1893).
Kehidupan damai masyarakat kerajaan mulai terusik ketika Belanda memberlakukan kerja paksa serta aturan pajak dan upeti yang memberatkan masyarakat.
Tentu saja, Kerajaan Arangkaa dengan tegas menolak tunduk kepada Belanda. Sikap ‘pembangkangan’ kerajaan Arangkaa akhirnya terdengar sampai ke Keresidenan Manado.
Keresidenan Manado merupakan distrik pusat administratif yang membawahi distrik Minahasa, Gorontalo, Palu sampai ke Sangihe Talaud. Pemimpinnya, seorang residen yang menjadi penguasa penjajahan tertinggi sekaligus mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di daerah kekuasaannya.
Belanda murka, dan berencana melakukan penyerangan ke Kerajaan Arangkaa. Saat itu, Residen Manado adalah Eeltje Jelles Jellesma (1892-1903) yang menggantikan Marinus Cornelis Emanuel Stakman (1889-1892).
Pihak Belanda yang geram memberikan ultimatum kepada Raja Larenggam untuk tunduk. Namun, ancaman tersebut tak membuat Larenggam dan pasukannya gentar. Dengan lantang mereka balik menantang dan bersiap melakukan perlawanan.
Meski kalah jumlah pasukan, pasukan Kerajaan Arangka melakukan perlawanan heroik. Tetapi, dengan persenjataan lebih modern, Belanda akhirnya memenangkan pertempuran dan membumihanguskan Kerajaan Arangkaa. Raja Larenggam dan pasukannya gugur demi mempertahankan kehormatan dan wilayahnya.
Konon, kerangka Larenggam dan pasukannya berada di sebuah Gua di Desa Arangkaa, Kecamatan Gemeh, Pulau Karakelan, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Namun, dalam cerita lain dari masyarakat setempat, Larenggam tidak mati saat penyerbuan karena kebal senjata. Belanda menangkap Larenggam hidup-hidup.
Sadar jika Larenggam memiliki ‘kekuatan’, Belanda kemudian memutilasi tubuhnya kemudian memisahkan ke beberapa tempat. Makam kepalanya menurut cerita, berada di Pulau Miangas.
Meski sedikit referensi, ada catatan menyebutkan 23 Desember 1951, Mohammad Hatta yang menjabat Wakil Presiden RI sempat mengunjungi dan mengheningkan cipta di makam Raja Larenggam Pahlawan Asal Talaud.
Tugu peringatan Larenggam juga berdiri di Kelurahan Lirung, Kecamatan Lirung, Pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Tokoh Masyarakat Talaud, Adolf Seweran Binilang melanjutkan, Gua Arangkaa dulunya merupakan makam masyarakat Kerajaan Arangkaa. Mirip dengan budaya di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.
Gua tersebut memiliki tujuh pintu dengan medan terjal dan berkelok. Namun, menurutnya tidak semua orang yang bisa masuk hingga ke inti gua tersebut. Ada persyaratan dan hanya orang yang ‘mendapat restu’ bisa sampai ke dalam.
Penjaga kompleks Gua Arangkaa, Opa Barnabas, kepada Newsantara.id pun sempat menceritakan sebuah kisah berbau mistis.
Katanya, pernah ada seorang pejabat pemerintahan yang mencoba masuk hingga ke pintu ketujuh. Namun dia hanya bisa masuk sampai pintu ketiga karena kancing kemejanya sudah copot semua, pertanda tak mendapat izin masuk lebih dalam.
Namun, kata dia lagi, pernah juga ada seorang pemuda yang masuk hanya dengan senter ponsel. Dia berhasil melewati tujuh pintu dan melakukan swafoto di dalam.
Mereka kaget dan bertanya soal silsilah pemuda tersebut. Ternyata sang pemuda yang bernama Bartolomeus tersebut, masih memiliki pertalian dengan Raja Manee Binilang.
Gua Arangkaa kini menjadi situs budaya dan lokasi destinasi wisata sejarah di Kabupaten Kepulauan Talaud, yang mengingatkan sejarah Raja Larenggam Pahlawan Asal Talaud.
Mungkin dengan sedikit polesan plus publikasi, pastinya situs ini akan mendatangkan banyak wisatawan, terlebih peneliti dari mancanegara. Apalagi, Talaud memiliki keindahan wisata laut mengagumkan serta wisata budaya yang begitu kaya.(fgt/nardo)
Tidak ada komentar