KPK Beber 5 Modus Kepala Daerah Terjerat Korupsi

F. G. Tangkudung
29 Nov 2020 12:54
Berita 0 159
2 menit membaca

KPK telah melakukan evaluasi dan menemukan ada 5 modus korupsi yang dilakukan kepala daerah saat menjabat

Sepuluh hari menjelang pemilihan serentak Kepala Daerah di Indonesia, KPK mengingatkan setiap calon untuk jujur mengungkap sumbangan kampanye mereka.

Baca: Apa itu Sertifikat Fidusia? Berikut Penjelasannya

Dengan melaporkan sumbangan kampanye secara jujur, itu berarti calon kepala daerah (cakada) memiliki integritas.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menilai indikator integritas cakada bisa terukur ketika jujur dalam melaporkan sumbangan kampanye.

“Integritas calon kepala daerah itu bisa terlihat kalau dia jujur dalam melaporkan sumbangan dana kampanyenya,” katanya.

Marwata menambahkan, dengan tidak jujur dalam melaporkan setiap sumbangan kampanye, seorang cakada berpotensi melakukan penyimpangan saat menjabat.

“Penyimpangan yang menjerumus ke tindak pidana korupsi pasti terjadi apabila dia menjabat. Hal ini yang harus kita hindari bersama,” sebutnya.

Korupsi ini menurutnya banyak terjadi karena balas jasa, atas apa yang pernah dia terima selama masa kampanye.

“Korupsi ini berhubungan erat dengan dukungan dana dari donatur. Itu terhitung sejak proses pencalonan, masa kampanye, hingga proses pemungutan suara,” tegasnya.

KPK telah melakukan evaluasi dan menemukan ada 5 modus korupsi yang dilakukan kepala daerah saat menjabat.

Pertama, Kepala daerah baik Bupati/Walikota melakukan intervensi dalam kegiatan belanja daerah.

Intervensi ini mulai dari pengelolaan kas daerah, pengadaan belanja barang dan jasa, pelaksanaan hibah, bantuan sosial (bansos).

Lalu intervensi dalam membuat program, pengelolaan aset, hingga penempatan anggaran Pemda di BUMD.

Kedua, Intervensi dalam penerimaan kas daerah. Ini mulai dari retribusi pajak daerah.

Lalu pendapatan daerah yang berasal dari pemerintah pusat, hingga kerja sama Pemda dengan pihak lain.

Ketiga, Intervensi perizinan muali dari pemberian rekomendasi izin, penerbitan perizinan, sampai pemerasan .

Keempat, penyalahgunaan wewenang kepala daerah. Hal ini terjadi saat pengangkatan dan penempatan jabatan orang dekat.

Lalu pemerasan saat pengurusan mutasi, rotasi, atau promosi seorang ASN.

Kelima, benturan kepentingan dalam proses pergantian pejabat, mutasi ASN hingga perangkapan jabatan.

Modus seperi ini yang menurut Marwata membuat seorang pejabat terperangkap dalam tindak pidana korupsi.

Melansir dari laman kpk.go.id, tahun 2018, KPK menemukan 82,3 persen calon kepala daerah mendapat donatur dalam pendanaan pilkada.

Harapan donatur menurut KPK setelah berhasil membantu kepala daerah, mereka diberikan kemudahan dalam bebagai hal.

Kemudahan ini meliputi, keamanan menjalankan bisnis, kemudahan perizinan, kemudahan ikut tender proyek pemerintah hingga kemudahan akses menentukan peraturan daerah.

(*/nid/ath/oka)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *