Drama panjang babak pertama Pilpres, penentuan pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden RI berakhir sudah. Tiga pasangan calon resmi mendaftarkan diri di KPU. Anie Baswedan- Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo- Mahfud MD dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Yang menarik, bagian akhir drama ini membuka kotak Pandora dunia tipu-tipu (baca: negeri wakanda).
Penetapan Gibran Rakabuming, sebagai cawapres Prabowo Subianto akhirnya secara gamblang dan benderang, menandai berakhirnya hubungan manis Joko Widodo dan PDIP, terutama Megawati Soekarnoputri. Semua sandiwara dan tipu-tipu akhirnya terkuak.
Kini Jokowi mendapat label pengkhianat, tak tahu diri, tidak berterima kasih, tak tahu etika dan sejenisnya dari PDIP. Wajar saja, PDIP adalah partai yang membesarkan Jokowi sejak mengorbitkannya di Pilwakot Solo, Pilgub Jakarta dan Pilpres.
Padahal waktu itu, DPC Solo sudah menetapkan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa sebagai calon walikota dan wakil walikota Solo. Hal sama di Medan, Bobby menggeser Akhyar Nasution kader PDIP yang jadi calon walikota.
Sebenarnya, keretakan itu sudah terlihat jelas ketika anak Joko yang lain, Kaesang Pangarep menjadi ketua Umum PSI. Momen ini sudah jelas membuktikan, Joko dan Megawati sedang tak baik-baik saja. Lebih ke belakang, ternyata pangkal keretakan besar PDIP dan Joko adalah ketika ramainya narasi Jokowi tiga periode.
Waktu itu, sejumlah tokoh yang ingin mengamankan posisinya, coba menggaungkan wacana tiga periode. Wacana ini mendapat dukungan arus bawah, meski itu terlihat jelas sebagai orang-orang suruhan.
Namun, Megawati masih memegang idealisme perjuangannya. Dengan tegas dia menolak hal tersebut karena bertentangan dengan konstitusi. Sejak itu, wacana itu meredup, layu sebelum berkembang.
Ternyata, Joko menyimpan dendam. Dia menyiapkan sebuah skenario untuk mendikte dan menyandera PDIP. Dia terlihat bermain dua kaki, mendekati Prabowo namun tetap berpura-pura jika hubungannya dengan PDIP baik-baik saja.
Megawati tetaplah Megawati. Sudah banyak makan asam garam dengan ribuan karakter orang. Lihat saja nasib Kwik Kian Gie, Eros Djarot, Sophan Sophian dan lainnya. Megawati bergeming, meski Joko Presiden, PDIP tetaplah lebih besar. Ketika penentuan Ganjar sebagai Capres dari PDIP, ada sebuah kontrak politik. Tak ada sedikitpun keterlibatan Jokowi. Angin mulai meniup bara dalam sekam.
Joko mencoba strategi baru, menjadikan Prabowo-Ganjar sebagai pasangan capres-cawapres. Jika itu terjadi, publik akan membacanya, PDIP tetap takluk di bawah Joko. Seiring itu, muncul wacana Joko bakal Ketum PDIP, bahkan dengan melibatkan kakak Megawati, Guntur Soekarnoputra.
Sekali lagi, Megawati menunjukkan hegemoninya. Dia menyindir Joko dalam Rakernas PDIP ketika mempertanyakan wacana Prabowo-Ganjar. Mega kukuh, Ganjar tetap Capres.
Namun, jangan lupakan juga sejumlah momen ketika Joko dipermalukan di depan publik. Mega berulangkali menyebut Joko tak akan menjadi siapa-siapa jika bukan katena PDIP. Joko hanya petugas partai.
Joko resmi menunjukkan perlawanannya dengan meminta Kaesang menjadi nakhoda PSI. Belum puas, Joko meminta Projo mendukung Prabowo Subianto.
PDIP terlihat ‘sabar’ dengan karena tidak memberikan sanksi kepada Joko dan Gibran. PDIP bahkan seolah tak lagi ingin membicarakan keduanya. Tak ada sikap tegas, seperti yang diterima Budiman Sudjatmiko. PDIP tak mau meladeni konfrontasi dengan Joko secara terang-terangan. Mungkin karena keduanya sudah tahu kartu masing-masing.
Menarik ditunggu apakah BG sebagai Kepala BIN juga akan menjadi korban perseteruan Joko-Mega?
Sisi lain, Joko deal dengan Bowo agar Gibran Rakabuming menjadi wakil Prabowo. Di sinilah batin Prabowo mulai berkecamuk. Secara elektabilitas, Gibran kalah dengan Erick Thohir atau Khofifah. Pun, dari sisi hukum, Gibran tak memenuhi syarat.
Mulailah gembok kotak Pandora terbuka, ketika drama di MK memuluskan Gibran untuk maju sebagai cawapres. Tentu saja ada keterlibatan Ipar Joko, Anwar Usman sebagai ketua MK. Sejumlah hal janggal terlihat jelas untuk memuluskan dinasti politik.
Melihat reaksi publik, akal sehat Prabowo sebenarnya nyaris memilih Erick Thohir. Tapi kini dia tersandera gugatan lain di MK, batas usia Capres maksimal 70 tahun dan tidak pernah melakukan kejahatan HAM.
Pada akhirnya, Prabowo kehilangan sisi keteguhan dan idealismenya. Dia insecure jika maju tanpa Jokowi di sisinya. Maklum trauma kalah tiga kali. Bowo akhirnya mendeklarasikan Gibran sebagai Cawapres.
Apa maksud Joko menempatkan Gibran sebagai Cawapres Prabowo? Tentu saja ingin melanjutkan kebijakannya 10 tahun terakhir, terlebih IKN. Namun, Cawapres kan hanya ban serep dan tak berhak membuat kebijakan?
Hmmm… Prabowo baru saja berusia 72 tahun. Fisik dan usia tak boleh lagi berbohong. Artinya, jika terpilih, Prabowo akan dilantik saat berusia 73 tahun dan akan berakhir saat 78 tahun. Mungkin sebagian publik memiliki pemikiran yang sama.
Dalam setiap kesempatan akhir-akhir ini, Joko kini menjawab tak mencampuri urusan anak-anaknya yang sudah dewasa. Sebuah hal yang di luar nurul dan tak habis fikri. Dia juga menyatakan mendukung semua calon, tak ada lagi cawe-cawe seperti sebelumnya.
Semua kubu sudah berhitung untuk memenangkan calonnya. Kehadiran Gibran, sudah jelas akan memecah kekuatan Ganjar di Jawa Tengah. Imbas lain, pemilih rasional Prabowo akan mengalihkan dukungan. Tentu saja hal ini menguntungkan Anies Imin dengan konsep perubahan.
Baca: Kaesang Ketum PSI, Langkah Tarian Perang Jokowi
Kurang lebih 100 hari lagi menuju pemilihan suara, dengan kondisi ini, memang Prabowo Gibran masih sedikit unggul atas Ganjar Mahfud. Namun jika perseteruan PDIP Joko terus membesar, bukan tidak mungkin pasangan Amin yang selalu di bawah, akan menjadi satu dari dua pasangan yang melaju ke putaran berikut. Mari kita lihat nanti. (fgt).
Tidak ada komentar