Johanna Tumbuan, Saksi Sejarah Sumpah Pemuda

F. G. Tangkudung
28 Okt 2020 12:55
Manadopedia 0 1051
3 menit membaca

Johanna Tumbuan juga menjadi saksi sejarah detik-detik pembacaan teks proklamasi oleh  Soekarno- Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945.

Pagi hari, 13 Mei 2006, seorang wanita renta 95 tahun menghembuskan nafas terakhir dengan wajah yang damai, di kediamannya yang terbilang sederhana di Jalan Menteng Raya 25, Jakarta Pusat.

Wanita itu adalah pengikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 yang terakhir meninggal dunia. Dialah Johanna Tumbuan atau lebih populerl dengan Jo Masdani.

Baca: Udamakatraya, Bukti Talaud Bagian Dari Majapahit

Johanna lahir di Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara 29 November 1910.

Itu berarti saat mengikrarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober tahun 1928, Johanna baru berusia 18 tahun.

Johanna bersama 70 pemuda dari seluruh pelosok Nusantara kala itu membacakan putusan kongres Pemuda II, Satu Tanah Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, di gedung Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.

Saat itu ada 6 wanita dalam kongres pemuda tersebut yakni, Emma Poeradiredjo, Siti Soendari, Poernamawoelan dan tiga wanita asal Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka adalah yakni Johanna Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel.

Sejak muda, darah aktivis Johanna mulai kentara. Saat masih berusia 16 tahun Johanna bergabung dengan Jong Minahasa yang namanya berganti menjadi Jong Celebes.

Johanna kemudian terus berjuang bersama  dengan kumpulan pemuda se-Indonesia dalam Jong Indonesia yang kelak menjadi organisasi Indonesia Muda.

Dia juga aktif dalam organisasi Kepanduan Indonesia (yang kelak menjadi Pramuka) dan Palang Merah Indonesia (PMI).

Johanna akhirnya bertemu dengan Masdani asal Jawa (juga menjadi pengikrar Sumpah Pemuda), yang kemudian mempersuntingnya menjadi istri.

Masdani adalah mahasiswa kedokteran Stovia. Keduanya melangsungkan pernikahan tahun 1950 saat Johanna berusia 40 tahun.

Sejak menikah, Johanna mengubah namanya menjadi Johanna Masdani Tumbuan atau lebih populer dengan Jo Masdani.

Johanna juga menjadi saksi sejarah detik-detik pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno- Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945.

Pada tahun 1946, Johanna dimintai Sam Ratulangi dan Mien Sudarpo Sastrosatomo untuk membangun tugu peringatan Proklamasi. Tugu itu sempat dibongkar namun dibangun kembali dan diresmikan tahun 1980 oleh Presiden Suharto.

Dalam masa awal kemerdekaan, Johanna bersama suaminya menyelundupkan beras untuk penduduk Cikampek.

Johanna juga sempat menyelundupkan senjata dari Jakarta untuk diberikan kepada pejuang di daerah.

Dia menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi UI dan lulus baru pada tahun 1961. Johanna kemudian menjadi dosen di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Kisah cinta keduanya berakhir ketika sang suami tercinta, Masdani meninggal tanggal 8 Oktober 1967 di usia 59 tahun.

Johanna begitu terpukul dan larut dalam kesedihan ditinggal belahan jiwanya.

Johanna kemudian memperdalam bidang psikoterapi di Amerika periode 1970-an.

“Saya diminta belajar ke Amerika karena waktu itu mereka melihat saya begitu larut dalam kesedihan ditinggal suami tercinta,” kata Johanna dalam sebuah tulisannya.

Kembali dari Amerika, Johanna menjadi dosen dan praktik menjadi psikoterapi dan konselor. Hingga mendekati akhir hayatnya, Johanna terus mengajar dan membagikan ilmunya ke masyarakat.

Johanna bersama suaminya, mendapatkan banyak gelar semasa hidupnya. Terhitung, delapan bintang dari negara kepada Johanna, termasuk Bintang Mahaputra.

Makam Johanna di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, pada tanggal 15 Mei 2006.

Rosihan Anwar, seorang wartawan senior yang mengenal Johanna dan suaminya, pernah mengusulkan agar nama Johanna Tumbuan menjadi nama jalan utama di depan kantor Bupati Minahasa Selatan.

Biodata:

Nama: Johanna Tumbuan

Nama populer: Johanna Masdani Tumbuan (Jo Masdani)

Tempat/Tanggal Lahir: Amurang, Sulawesi Utara 29 November 1910.

Meninggal  : Jakarta, 13 Mei 2006

Ayah: Alexander Tumbuan

Ibu: Henrriette Mosal

Suami: Masdani

Penghargaan :

(1) Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia tahun 1954 dari Menhankam Ali Sastroamidjojo.

(2) Satya Lencana Peristiwa Kemerdekaan I tahun 1958 dari Menteri Pertahanan Djuanda.

(3) Satya Lencana Peristiwa Kemerdekaan II tahun 1958 dari Menteri Djuanda.

(4) Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I tahun 1958 dari Menteri Djuanda.

(5) Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II tahun 1958 dari Menteri Pertahanan Djuanda.

(6) Bintang Gerilya tahun 1958 semasa Presiden Soekarno.

(7) Satya Lencana Penegak tahun 1967 semasa Presiden Soeharto.

(8). Bintang Mahaputra Utama tahun 1998 semasa Presiden BJ Habibie.

Penulis: F. G. Tangkudung

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *