Timnas Indonesia gagal menjadi juara piala AFF 2022. Hal ini menyusul kekalahan 0-2 atas tuan rumah Vietnam di semifinal leg kedua, Senin (9/1/2023) di My Dinh National Stadium, Hanoi.
Dua gol cepat Nguyen Tien Linh di masing masing babak (3’ dan 47’) sudah cukup membuat pendukung sepakbola Indonesia tersadar dari mimpi tingginya.
Agregat total adalah 0-2, karena sebelumnya Indonesia mampu menahan Vietnam bermain imbang tanpa gol di Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Hasil ini membuat Indonesia menambah panjang daftar kegagalan menjadi juara Piala AFF sejak pertama kali digelar tahun 1996. Piala AFF sebelumnya bernama Piala Tiger, merujuk minuman yang menjadi sponsornya.
Meski pesertanya hanya negara-negara ASEAN, Indonesia terlalu sulit merengkuh gelar juara. Prestasi terbaik Indonesia cukup bikin bergidik, 6 kali runner up alias pecundang di babak final. Catat, dari 14 kali ikut serta.
Thailand, Singapura, Vietnam dan Malaysia silih berganti memamerkan asyiknya memegang trofi tersebut saat naik podium juara.
Ini juga menjadi kali kedua pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong (STY) menjadi juru taktik Indonesia di Piala AFF. Pada tahun 2020, STY berhasil membawa Indonesia ke babak final.
Sekadar mengenang perjalanan Indonesia di Piala AFF, pelatih timnas Indonesia bergonta ganti mulai dari produk lokal hingga kualitas impor.
Ada Danurwindo (1996), Rusdy Bahalwan (1998), Nandar Iskandar (2000), Benny Dollo (2008), Nil Maizar (2012), dan Bima Sakti (2018) dari Indonesia.
Selanjutnya ada nama Ivan Kolev (2002), Peter Withe (2004, 2007), Alfred Riedl (2010, 2014, 2016), dan Shin Tae-yong (2020,2022) untuk pelatih asing.
Hasilnya, hanya nama Nandar Iskandar pelatih Indonesia yang cukup baik menangani Indonesia ketika meraih runner up tahun 2000. Sementara lima runner up lain adalah hasil dari pelatih asing 2002, 2004, 2010,2016 dan 200.
Lantas apa faktor utama Indonesia gagal selalu menjadi juara? Terlalu banyak. Sayangnya, hal itu adalah masalah klasik dan terus berulang.
Mulai mental pemain, buruknya kualitas liga Indonesia hingga oknum pengurus induk organisasi yang kurang becus. Bukannya menambal kekurangan dan mempertahankan apa yang sudah baik, malah setiap ganti pengurus/ pelatih semuanya mulai lagi dari titik nol.
Pemain-pemain muda yang bersinar akhirnya menjadi memble ketika masuk kelompok senior. Akibatnya, Indonesia yang dulunya menjadi raja Asia Tenggara, bahkan Asia, kini prestasinya jauh berada di bawah Thailand dan Vietnam bahkan Singapura.
Belum lagi derasnya arus naturalisasi setiap tahunnya. Akibatnya banyak pemain yang baru saling kenal saat turnamen. Hal itu belum memperhitungkan seberapa besar nilai patriotisme dan nasionalismenya para pemain naturalisasi.
Sayang memang, semua masukan pecinta sepak bola Indonesia tak pernah menjadi bahan pertimbangan para stakeholder pengambil keputusan. Mereka berlagak lebih tahu segalanya. Seperti Indonesia hanya milik mereka.
Baca: Indonesia Lolos Final AFF? Jangan Banyak Berharap
Kini Publik sepakbola Indonesia mungkin harus terbiasa melihat kegagalan demi kegagalan timnas Indonesia. Tak mengapa kalah, nanti coba lagi. (BangKipot)