Pilkada serentak 2020 telah usai. Hasilnya sudah bisa terprediksi melihat hitungan cepat sejumlah lembaga survei.
Ada pasangan calon yang sudah menerima kekalahan, ada juga yang masih belum percaya. Banyak alasan yang mendasari pasangan calon belum bisa menerima kenyataan.
Baca: 5 Tipe Pemilih Dalam Pilkada
Terlebih jika selisih suara tipis atau terindikasi terjadi kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Hal itu akan menjadi soal, apalagi jika ada bukti dan saksi atas dugaan pelanggaran tersebut.
Sengketa berpotensi berlanjut menjadi Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala daerah (PHPKada) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sayang, tidak semua kekalahan bisa menggugat ke MK. Berdasarkan UU Pilkada ada syarat mutlak gugatan pilkada yang harus terpenuhi, melihat hasil penghitungan suara.
Dalam Pasal 158 UU tentang Pilkada, teratur jelas selisih persentase suara maksimal sesuai hasil penghitungan suara KPU.
Pilkada Provinsi
1. Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
Pilkada Kabupaten/ Kota:
1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
MK hanya akan menerima penyelesaian Gugatan Pilkada Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) menurut aturan selisih suara maksimal.
Kita ambil contoh Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk kurang lebih 2,8 juta jiwa. Dari penjelasan pasal 158 UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada di atas, Provinsi Sulawesi Utara masuk dalam kategori 2.
Berarti, MK hanya akan menerima penyelesaian gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) jika selisih suara maksimal 1,5 persen atau kurang.
TAPI jangan keliru, banyak yang salah kaprah soal ini, termasuk sejumlah kuasa hukum.
Dari laman website Mahkamah Konstitusi (mkri.id) diterangkan, jika banyak pihak salah menerjemahkan soal hitungan gugatan Pilkada ini.
Suara maksimal 1,5 % BUKAN selisih persentase suara dalam rekapitulasi penghitungan suara antar dua pasangan calon.
Penjelasan sederhananya, misalnya pasangan calon A mendapat 49% suara, dan pasangan calon B memperoleh 44% suara.
Banyak pihak mengira, selisih suaranya adalah 5%, sehingga tidak bisa mengajukan permohonan PHPKada ke MK.
Ternyata, dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dan Perselisihan Hasil Pilkada, terutama dalam Pasal 6 ayat (3), telah disusun formulasi penghitungan untuk syarat pengajuan PHPKada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Formulasi penghitungan sebagai tafsir dari norma yang tercantum dalam Pasal 158 UU Pilkada terkait syarat selisih suara maksimal tersebut.
Penghitungan yang benar, secara sederhana bisa dijelaskan sebagai berikut.
Dalam suatu daerah, ada nilai baku persentase maksimal berdasarkan jumlah penduduknya. (lihat poin di atas).
Misalnya Provinsi Sulut dengan jumlah penduduk di kisaran 2 juta-6 juta, maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
Maka perhitungannya adalah 1,5% kali jumlah perolehan suara terbanyak dari pasangan calon.
Hasilnya nanti akan dibandingkan dengan selisih perolehan suara masing-masing pasangan calon.
Contoh, pasangan calon A memperoleh 600.000 suara dan pasangan calon B mendapat 580.000 suara.
Maka 1,5% dari 600.000 (perolehan suara paslon A), didapat hasil 9.000. Angka ini (9.000) misalnya sebagai nilai koefisien 1.
Kemudian, selanjutnya menghitung selisih perolehan suara paslon A (600.000) dengan paslon B (580.000), yakni sebesar 20.000. Angka ini misalnya sebagai nilai koefisien 2.
Sebagaimana syarat dalam Pasal 158 UU Pilkada, untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1.
Dari contoh di atas, 20.000 > dari 9.000.
Artinya dalam contoh paslon A dan B ini, nilai koefisien 2 lebih besar dari nilai koefisien 1, maka paslon B tidak memenuhi syarat untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK.
Kita ambil contoh lain, jika pasangan calon C memperoleh 600.000 suara dan pasangan calon D mendapat 595.000 suara.
Maka 1,5% dari 600.000 (perolehan suara paslon A), didapat hasil 9.000. Angka ini (9.000) misalnya sebagai nilai koefisien 1.
Kemudian, selanjutnya menghitung selisih perolehan suara paslon A (600.000) dengan paslon B (595.000), yakni sebesar 5.000. Angka ini misalnya sebagai nilai koefisien 2.
Dari contoh di atas, 5.000 < dari 9.000.
Artinya dalam contoh paslon C dan D ini, nilai koefisien 2 di bawah nilai koefisien 1, maka paslon D memenuhi syarat untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK. (Kay).