Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional dari Papua

Bang Kipot
28 Okt 2020 02:14
Pustaka 0 302
4 menit membaca

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang membujur dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua.

Baca: AA Maramis, Tokoh Perumus Pancasila dan Pencetak Uang RI

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam melawan bangsa kolonialisme. Banyak pahlawan dan pejuang dari berbagai daerah yang memberikan sumbangsihnya dalam perjuangan tersebut.

Bumi Cendrawasih atau Papua turut melahirkan putra daerahnya menjadi salah satu patriot yang ikut andil dalam sejarah bangsa.

Provinsi Papua yang dulunya bernama Irian Barat masuk dalam NKRI pada tanggal 1 Mei 1963. Walau tanah Papua bergabung dengan NKRI pada tahun 1963, tidak serta merta sejarah perjuangan yang ada di Papua baru dimulai pada saat itu.

Jauh sebelumnya, salah seorang putra Papua bernama Frans Kaisiepo sudah berandil dalam perjuangan menentang bangsa penjajah.

Frans Kaisiepo adalah salah seorang putra asli Papua yang begitu antusias dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Frans Kaisiepo bersama rekan-rekannya pada tanggal 31 Agustus 1945 melangsungkan upacara pengibaran bendera Merah Putih di Biak.

Ketika itu, Biak merupakan wilayah bernama Nederlands Nieuw Guinea dan masih dalam kekuasaan Hindia Belanda.

Pada tanggal 10 Mei 1946, Frans Kaisiepo menjadi penggagas terbentuknya Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak Papua.

Dia juga menjadi anggota delegasi saat pelaksanaan Konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada tanggal 15-25 Juli 1946.

Konferensi Malino bertujuan untuk membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia, salah satunya Negara Indonesia Timur.

Saat berlangsungnya konferensi, Frans mencetuskan perubahan nama Nederlands Nieuw Guinea menjadi Irian. Dia juga menolak pembentukan Negara Indonesia Timur oleh karena Irian tidak termasuk di dalamnya.

Frans semakin berani dalam menentang pemerintahan Hindia Belanda di tanah Papua sekembalinya dari Konferensi Malino.

Atas sikap Frans tersebut, pihak Hindia Belanda mencoba untuk menekan perjuangan Frans dan rekan-rekannya. Akibatnya, terjadilah pemberontakan rakyat Biak pada bulan Maret 1948.

Pihak Hindia Belanda kemudian membujuk Frans Kaisiepo untuk menjadi ketua delegasi dari Nederlands Nieuw Guinea pada  Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949.

Frans menolak tawaran tersebut karena menganggap pihak Hindia Belanda ingin memanfaatkannya.

Hasil KMB yang masih mengakui tanah Papua sebagai wilayah Hindia Belanda, semakin membuat Frans anti-Belanda.

Frans menolak terlibat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai delegasi Hindia Belanda. Konsekwensinya, Frans mendapat hukuman dengan cara diasingkan ke daerah-daerah terpencil dari tahun 1954 hingga 1961.

Usai mengakhiri masa hukuman pada tahun 1961, Frans mendirikan Partai Politik Irian yang bertujuan agar wilayah Nederlands Nieuw Guinea bisa bergabung dengan Indonesia.

Aksi perjuangan Frans yang tak henti membuahkan hasil saat Presiden Soekarno pada tahun 1961 mengumandangkan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) yang bertujuan untuk menggabungkan wilayah Papua Barat (Irian Barat) menjadi wilayah NKRI.

Pihak Indonesia dan Belanda akhirnya membawa masalah Irian Barat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan hasil wilayah Papua Barat menjadi wilayah NKRI dan akan mendapat pengakuan penuh setelah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dan nama yang akan dipakai adalah Irian Barat, nama yang pernah Frans Kaisiepo cetuskan.

Frans Kaisiepo yang terkenal akan jiwa nasionalismenya diangkat menjadi Gubernur Provinsi Irian Barat pada tahun 1964 sampai dengan 1973. Saat menjabat sebagai gubernur, Frans berjasa dalam memenangkan PEPERA tahun 1969, sehingga dunia internasional akhirnya mengakui secara penuh Irian Barat adalah bagian NKRI.

Pada tanggal 1 Maret 1973, Presiden Soeharto kemudian mengubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Dan selanjutnya berubah kembali menjadi Papua pada tahun 2000 saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai Presiden.

Karirnya terus menanjak dengan menjadi anggota MPR-RI Utusan Daerah pada tahun 1972, serta mendapat kehormatan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (DPA-RI) tahun 1973-1979.

Pada tanggal 10 April 1979 Frans Kaisiepo meninggal dunia, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Kabupaten Biak Papua.

Jiwa nasionalisme dan kebangsaan Frans Kaisiepo terbentuk saat Frans bertemu dengan Sugoro Atmoprasodjo, salah seorang mantan guru dari Taman Siswa pada tahun 1945. Frans belajar bahwa jiwa kebangsaan adalah hal penting untuk menjadi bangsa yang besar dan mandiri.

Nama besar dan jasa-jasa Frans Kaisiepo akan selalu terkenang dengan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasar Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993.

Selain itu, Frans Kaisiepo adalah penerima penghargaan Trikora, penghargaan Pepera, dan penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua.

Adapun nama Frans Kaisiepo juga terpatri sebagai nama bandara di Biak (Bandara Biak Frans Kaisiepo), dan nama kapal perang milik TNI AL (KRI Frans Kaisiepo). Serta nama dan gambar wajahnya pernah tertera pada perangko edisi tahun 1999 dan yang terakhir pada uang kertas Rp.10.000 tahun edisi 2016.

Biodata Frans Kaisiepo :

Lahir                :  Biak, Papua 10 Oktober 1921

Wafat              :  Jayapura, Papua 10 April 1979 (usia 57)

Istri                  :  Anthomina Arwam (3 orang anak)

                           Maria Magdalena Moorwahyuni (1 satu orang anak)

Pendidikan      :  Sekolah Rakyat tahun 1928-1931

                           LVVS Korido tahun 1931-1934

                           Sekolah Guru Normalis tahun 1934-1936

                           Bestuur Course tahun 1945

                           Bestuur School tahun 1952-1954

Gelar               :   Pahlawan Nasional Indonesia

Penulis: Fathur Ridho

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *