Gibran Rakabuming Raka tampil di luar dugaan saat debat calon wakil presiden, Jumat (22/12/2023) di Jakarta. Secara objektif harus diakui Gibran unggul atas Gus Imin dan Mahfud MD.
Tak disangka memang, Gibran yang selama ini irit bicara dan cenderung gagap justru tampil spektakuler. Imin dan Mahfud sepertinya kaget atas penampilan Gibran. Akibatnya, sepanjang debat keduanya terlihat di bawah tekanan.
Apresiasi dan pujian pantas untuk tim di belakang Gibran yang berhasil mempersiapkan materi dan mental Gibran. Sebaliknya, sifat anggap remeh dan over confidence Imin dan Mahfud membuat keduanya terlihat kalah.
Memang, secara kualitas jelas terlihat debat kedua KPU ini kurang greget dibanding debat pertama. Sebelumnya pada debat pertama, secara objektif juga, Anies Baswedan menang telak atas Prabowo dan Ganjar.
Yang menarik, usai penampilan tiga pasang capres-cawapres dalam dua debat KPU muncul fenomena menarik. Ternyata di media sosial, justru hanya terjadi perang argumen kosong dan debat kusir. Pada intinya, mereka yang sudah menjatuhkan pilihan tak banyak terpengaruh atas debat yang sudah berlangsung.
Lihat saja, bagaimana pendukung Gibran bersorak gembira dengan label nilai sempurna atas penampilan putra Joko tersebut. ‘Dikira cupu padahal suhu’, begitu inti pujian mereka.
Sebaliknya, pendukung dua pasangan lain justru mencari kesalahan Gibran. Mulai dari penggunaan tiga mic dan earphone, suara misteri atau pelafalan akronim SGIE dalam bahasa Indonesia. Ada juga yang menyerang Gibran soal ilustrasi kebun bintang untuk masyarakat. Belum lagi video si gemoysian yang menarik paksa jaket si Bahlil.
Beginilah kualitas demokrasi masyarakat Indonesia, sulit mengakui keunggulan lawan justru memutarbalikan fakta dengan serangan balik tanpa substansi.
Pernyataan Grace Natalie yang menyebut Gibran tidak akan menyerang dua pasangan lain dalam debat rupanya bagian dari strategi. Ini membuat dua kubu terbuai, menganggap remeh pentingnya persiapan dan data dalam menghadapi debat.
Berikutnya, penampilan Gibran yang menyerang all out seakan menabuh genderang perang. Sudah pasti, mulai debat ketiga, suasana saling serang untuk menyudutkan lawan akan tersaji.
Pada akhirnya, debat presiden dan wakil presiden memang bukan khusus untuk pemilih yang sudah menjatuhkan pilihan. Debat itu untuk mempengaruhi undecided voters dan swing voters. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kategori ini adalah yang tingkat pendidikannya cukup dan tinggi.
Mereka melihat substansi gagasan, alasan ide dan paradigma berpikir. Pemilih kategori ini juga akan mencari tahu kualitas dan track record pasangan calon lewat jejak digital. Memang persentasenya bukan mayoritas, tapi cukup membantu mendongkrak suara.
Sekali lagi, tak usah terlalu fanatik dengan pasangan calon dengan merusak hubungan silaturahmi horizontal. Presiden dan wakil presiden terpilih nanti tinggal menjemput takdir mereka. Siapa yang terpilih nanti sudah tertulis di Lauhul mahfudz, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Benarkah Suara Prabowo-Gibran di Atas 40 Persen?
Pilihlah pasangan favoritmu dengan akal dan nurani. Tampilkan kelebihannya. Jika ingin agak tendensius, pahami dulu perbedaan kampanye negatif dan kampanye hitam. (fgt)
Tidak ada komentar