Suatu malam, sepasang suami istri masuk ke sebuah hotel kecil di sebuah daerah pinggiran, dengan kondisi basah kuyup dan gemetaran.
Baca: Tuhan, Kenapa Harus Saya?
Dengan sebuah koper besar di tangan, pasangan itu kemudian mendekat ke arah meja resepsionis. Cuaca di luar juga sangat dingin dengan hujan lebat.
“Kami ingin memesan sebuah kamar. Cuaca dan kondisi di luar tak memungkinkan kami melanjutkan perjalanan,” kata lelaki itu.
“Iya, tampaknya kami harus bermalam di kota ini,” tambah istrinya.
“Maaf pak, ibu, kebetulan di kota ini ada tiga acara konvensi yang digelar hampir berbarengan. Semua kamar hotel sudah terisi. Tiga puluh menit yang lalu, seorang lelaki memesan kamar terakhir,” kata resepsionis itu.
Alhasil, pasangan tersebut kebingungan. Dengan kondisi gelap dan badai, tak mungkin juga mereka akan mencari tempat penginapan yang lain.
“Terima kasih, mungkin kami harus mencari tempat lain,” kata lelaki itu pasrah dan putus asa.
“Pak, tidak mungkin kalian keluar tengah malam dalam kondisi badai. Jika mau, bapak dan ibu bisa beristirahat di ruangan saya. Mungkin tidak terlalu bagus, tapi cukup nyaman untuk melepas lelah sampai pagi tiba,” tawar sang resepsionis.
“Terima kasih nak, tapi…” kata lelaki itu.
Pria muda itu langsung tahu maksud tatapan lelaki tua tersebut.
“Tidak apa-apa. Saya bisa beristirahat di kursi. Sebentar, Saya segera menyiapkan kasurnya,” kata resepsionis.
Tak berapa lama, dia lalu muncul kembali, mengambil koper dari tangan lelaki itu, dan mengantar keduanya ke ruangannya.
“Masuklah pak, bu. Dalam kamar mandi ada handuk bersih. Saya juga akan membawakan makan malam dan teh hangat. Malam ini sangat dingin,” katanya sambil menarik pintu.
Ketika pagi tiba, pasangan suami istri itu sudah berada di lobi hotel. Mereka siap melanjutkan perjalanan dengan kondisi segar.
“Selamat pagi. Bagaimana istirahatnya pak bu?,” pria muda itu memulai pembicaraan sambil berdiri di balik meja resepsionis.
“Berapa harga semuanya, anak muda,” tambah lelaki itu.
“Jangan pak. Yang anda tempati semalam bukan kamar. Jika saya meminta bayaran, saya menyalahi etika. Semoga perjalanan kalian menyenangkan,” kata sang resepsionis dengan senyumnya.
“Anak muda, anda layak menjadi seorang manajer hotel. Dengan keramahan dan ketulusan seperti itu, saya yakin hotelnya akan maju,” puji sang lelaki.
“Mungkin satu saat anda bisa menjadi manajer hotel.” tambahnya.
“Jangan berlebihan pak. Ini sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya,” kata resepsionis itu merendah.
“Siapa nama kamu anak muda?,” tanya lelaki itu.
“Panggil saya Geo,” balas sang resepsionis.
“Tolong tulis nama lengkap, alamat dan nomor kontak anda. Siapa tahu kita bisa berjumpa lagi,” balas lelaki itu sembari pamit melanjutkan perjalanan.
Dua setengah tahun berlalu.
Geo sedang berada di rumah kecilnya. Dia tidak lagi bekerja sebagai pelayan di hotel. Dua hari lalu dia diberhentikan dari pekerjaannya tanpa alasan.
“Ada sebuah surat untukmu,” kata pak pos.
“Terima kasih,” balas Geo.
Dia bingung, amplop cokelat itu agak tebal. Ada sebuah nama perusahaan terkenal.
Geo lalu membuka amplop tu dengan hati-hati. Dia menarik secarik kertas dengan sebuah foto.
“Halo Geo. Apakah kamu masih ingat? Kami pasangan yang kamu tolong waktu malam yang dingin itu. Bersama surat ini ada tiket pergi pulang dan sejumlah uang, yang sudah kami siapkan. Kami mengundang kamu agar bisa datang ke sini, sebagai tamu istimewa,” begitu isi suratnya.
Geo tertegun. Seumur hidupnya dia belum pernah naik pesawat. Dia kemudian mengambil dua lembar tiket yang ada di balik surat tersebut.
Hari penerbangan tiba. Geo menikmati perjalanan pertamanya menggunakan pesawat terbang.
Sampai di Bandara, dia sudah ditunggu sebuah mobil yang mengantarkannya ke pusat kota.
Dalam sebuah restoran mewah, sudah menunggu sepasang suami istri yang pernah singgah di hotel tempatnya bekerja.
“Halo Geo, apa kabar?,” kata lelaki itu.
“Takdir ternyata masih mempertemukan kita. Mari makan dulu,” tambahnya.
Usai makan, ketiganya terlibat pembicaraan santai, penuh tawa.
Lalu tiba-tiba, lelaki itu agak serius.
“Geo, kamu lihat hotel itu?,” tanya lelaki itu.
“Gedung tinggi dengan batu kemerahan dan menara yang menjulang itu, sebuah hotel?” tanya Geo takjub
“Iya, itu adalah hotel yang baru saya bangun, untuk kamu kelola. Kami yakin masa depan hotel itu ada di tanganmu,” katanya meyakinkan.
Geo tak bisa berkata-kata lagi. Hanya matanya yang berkaca. Akan tetapi, perasaannya bercampur antara senang dan tak percaya.
Pria muda bernama Geo itu George Boldt, manajer pertama Waldorf Hotel. Sedangkan lelaki itu adalah William Waldorf Astor, milyuner. Juga, pemilik jaringan hotel paling bergengsi di dunia.
Dari Philadelpia, Pennsylvania, Geo menjadi orang sukses di tengah kota Manhattan, New York
Penulis: Farezell Gibran
Tidak ada komentar