Bisnis pembuatan ijazah palsu di Indonesia tumbuh subur, ini tak lepas dari adanya permintaan yang menjamur.
Dengan kemajuan teknologi dan mudahnya akses informasi, fenomena gelap bisnis ijazah palsu semakin mengkhawatirkan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga merambah negara-negara maju. Besarnya permintaan jelas menunjukkan bahwa praktik curang ini telah menjadi bisnis yang menjanjikan bagi pelakunya.
Banyak pelaku bisnis ijazah palsu ini tergiur karena tingginya permintaan. Dengan modal kecil dan kemampuan desain grafis yang mumpuni, permintaan pelanggan cepat terwujud.
Pelaku bisnis ijazah palsu dapat memproduksi ijazah dari berbagai universitas, baik negeri maupun swasta lengkap dengan logo, tanda tangan, hingga cap resmi.
Tidak sedikit pula yang menawarkan “paket lengkap” termasuk transkrip nilai dan surat pendukung lainnya.
Salah satu pelaku pembuat ijazah palsu Bang Uchan, menyebut bisnis ini berjalan dengan sistem online, mulai dari pemesanan hingga penyerahan ijazah.
“Selama ini saya lakukan ini dengan online, tidak pernah ketemu sama orang yang memesan. Jadi semua transaksi secara online,” katanya saat wawancara dengan salah satu stasiun TV Nasional.
Menurut Bang Uchan, bisnis ini tak pernah mati karena selalu ada permintaan. “Bisnis ini tetap jalan karena ada pasarnya,” ujarnya.
Pelanggan Bang Uchan biasanya meminta dibuatkan ijazah mulai dari SMP, SMA hingga ijazah S1. “Paling banyak ijazah SMA sama S1. Tergantung pemesan,” katanya lagi.
Harganya pun bervariasi, untuk ijazah SMP dan SMA harganya Rp1.500.000. untuk ijazah sarjana bervariasi antara Rp3,5 juta hingga Rp75 juta.
Permintaan datang dari berbagai kalangan, mereka yang ingin terlihat bergengsi di mata masyarakat, mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, atau sekadar menghindari proses pendidikan formal yang panjang dan mahal.
Maraknya ijazah palsu jelas merusak tatanan pendidikan dan dunia kerja. Pertama, hal ini mencederai prinsip meritokrasi, seseorang seharusnya mendapatkan posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan dokumen palsu.
Kedua, kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan menjadi luntur, karena ijazah bukan lagi menjadi bukti kompetensi yang sahih.
Selain itu, muncul risiko besar bagi institusi yang menerima lulusan “palsu”. Bayangkan seorang dokter atau insinyur yang tidak pernah benar-benar menempuh pendidikan sesuai standar, tetapi tetap bisa berpraktik. Ini bukan hanya penipuan, tapi juga berbahaya bagi keselamatan publik.
Pasar ijazah palsu memang tampak menjanjikan bagi sebagian orang, tetapi pada akhirnya hanya akan menciptakan kerusakan sistemik.
Ijazah bukan hanya selembar kertas, melainkan simbol pencapaian, proses, dan tanggung jawab.
Jika nilai ini terus dikompromikan, maka yang terancam bukan hanya pendidikan, tapi masa depan generasi kita sendiri.(red)
Tidak ada komentar