Mohammad Hatta, memuji dan menjuluki Kartono sebagai manusia cerdas dari Indonesia. Dia terkenal karena menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Indonesia.
Setiap tanggal 21 April, Bangsa Indonesia memperingati hari lahir seorang tokoh wanita, Raden Adjeng Kartini.
Kartini dianggap menjadi sosok wanita paling berjasa karena memperjuangkan emansipasi wanita, persamaan hak di setiap sendi kehidupan dengan kaum pria. Kartini dinilai menjadi pendobrak tirani yang lama menindas wanita Indonesia.
Baca: Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional dari Papua
Namun, di balik kemasyhuran dan cemerlangnya nama Kartini, ada satu sosok yang sangat berpengaruh, yang menjadi guru sekaligus inspirasi bagi Kartini.
Dialah Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak sekaligus guru bagi Kartini. Hanya berselisih dua tahun, keduanya sangat dekat. Kartono menjadi tempat bertanya, curhat dan berkeluh kesah bagi Kartini remaja.
Wajar saja, sang ayah adalah seorang patih yang kemudian menjadi Bupati Jepara.
Beda dengan Kartini yang harus menjalani pingitan sejak usia 12 tahun karena seorang wanita, dia justru mendapat dukungan penuh sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Usai tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, Kartono masuk ke HBS Semarang. Selanjutnya, tahun 1898 dia pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan studinya.
Kartono semula memilih jurusan teknik di Leiden, namun dia kemudian pindah ke jurusan bahasa dan kesusastraan timur. Dari tanah Ratu Wilhelmina ini, Kartono mengirimkan buletin dan buku-buku kepada adiknya yang gemar membaca.
Dari bahan- bahan yang dikirimkan itulah, Kartini remaja mendapat pencerahan yang kelak mengubah nasib para wanita Indonesia.
Kartono tamat dari Perguruan Tinggi Leiden dan bergelar Docterandus in de Oostersche Talen. Ketika itu, dia menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat gelar sarjana.
Mohammad Hatta, bakal Wakil Presiden RI pertama saat itu bahkan memuji dan menjuluki Kartono sebagai manusia cerdas dari Indonesia. Kartono terkenal karena menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah di Indonesia.
Setelah meraih gelar sarjana, Kartono kemudian melanglang buana di Eropa. Kejeniusannya memang sudah nampak sejak masih kuliah. Ketika menjadi penerjemah di Wina Austria, dia mendapat julukan sebagai ‘Jenius dari Timur’.
Pada September 1899, dalam sebuah Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent Belgia, Kartono menyampaikan pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie, yang semakin membuat namanya terkenal.
Sayang, di saat Kartono mulai mendapatkan pengalaman berharga saat bekerja, dia harus mendengar berita duka, kepergian sang adik RA Kartini tepat empat hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Ketika memasuki masa perang Dunia I, dia kemudian melamar di koran The New York Tribune. Karena kemampuan bahasa asingnya, koran tersebut menerimanya sebagai wartawan perang.
Kartono mendapat pangkat Mayor dari tentara Sekutu agar lebih mudah meliput di medan perang. Meski bertugas di area bahaya, dia menolak untuk membawa senjata.
Ketika Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB) berdiri atas prakarsa Presiden AS Woodrow Wilson tahun 1919, Kartono menjadi kepala penerjemah semua bahasa yang ada di Liga Bangsa-Bangsa.
Kartono bahkan menjabat posisi tersebut selama sepuluh tahun, mengalahkan para kandidat lain dari seluruh dunia. Dia selanjutnya menjadi Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Perancis di Belanda.
Dalam sebuah kisah, Kartono pernah menjenguk anak sahabatnya yang sakit parah. Ketika itu, sejumlah dokter spesialis terkemuka sudah menyerah tak bisa menyembuhkan sang anak.
Ketika menemui anak sahabatnya itu, dia meletakkan tangannya ke dahi sang anak. Ajaibnya, sang anak langsung sembuh. Sontak berita tersebut cepat menyebar dan membuat heboh dunia dunia medis di Belanda.
Pengalaman itu membuatnya ingin belajar dunia medis, psychometrie dan psychotecniek di perguruan tinggi Prancis. Namun, karena dasar ilmunya adalah kesusastraan, dia tak bisa menjadi mahasiswa kedokteran.
Kartono akhirnya memutuskan pulang kampung untuk membaktikan ilmunya di tanah air.
Tiba di Indonesia, dia bertemu dengan sahabatnya, Ki Hajar Dewantara pendiri Taman Siswa, yang kelak memperoleh gelar sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Kartono mendapat pemberian berupa sebuah rumah panggung berdinding anyaman bambu yang dia rubah menjadi perpustakaan. Dia juga mendapat amanat menjadi Kepala Sekolah Nationale Middlebare School di Kota Bandung.
Rumah Kartono selalu ramai menjadi tempat berkumpulnya para tokoh muda pergerakan nasional, termasuk bakal Presiden RI pertama, Soekarno.
Ada yang ingin belajar bahasa, ada juga yang meminta wejangan karena pengalamannya di luar negeri.
Kartono juga mendirikan rumah pengobatan spiritual yang bernama pondok Darussalam. Metode pengobatannya begitu melegenda karena hanya menggunkan media air putih, huruf alif dan wejangannya. Dia bahkan terkenal dengan julukan ‘Dokter Air Putih’.
Pada sebuah kisah, Sultan Deli pernah meminta secara khusus kepada Kartono untuk memberantas wabah penyakit ganas yang menyerang daerahnya.
Sosrokartono tua kemudian dikenal sebagai Eyang Sosro karena keahlian dan kesaktiannya tersebut. Sebuah cerita yang melegenda, ketika belum ada kamera canggih dan drone, dia sudah memotret kawah Gunung Kawi pertama kali dari udara.
Dia tidak menggunakan helikopter atau pesawat, melainkan lewat kemampuan ilmu spiritualnya. Sesuatu yang hingga kini sulit terbayangkan oleh logika.
Tragis, kehebatan Kartono di usia muda berbanding terbalik dengan apa yang ia alami di penghujung hayatnya.
Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, Kartono menderita sakit yang mengharuskannya duduk di kursi roda. Waktu itu, dia belum sempat berumah tangga.
Selama sepuluh tahun di kursi Roda, Kartono atau Eyang Sosro akhirnya menutup usia. Dia wafat saat berumur 74 tahun pada Februari 1952. Dia dikebumikan di samping makam kedua orang tuanya, di Sedo Mukti Desa Kalipitu, Kabupaten Kudus Jawa Tengah.
Nama Raden Mas Panji Sosrokartono bahkan tak masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia atau Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.
Seperti Kartini yang menjadi sahabat, adik sekaligus muridnya, dia memiliki pengaruh, sumbangsih dan kontribusi yang sangat besar buat bangsa Indonesia.
Penulis : F. G. Tangkudung
Tidak ada komentar