Calon Presiden dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan begitu lekat dengan Politik Identitas. Hal ini menjadi konten andalan lawan politik untuk mendiskreditkan mantan gubernur Jakarta tersebut.
Lantas, bagaimana asal mula Anies Baswedan mendapat stigma pendukung politik identitas?
Mari kita kembali ke tahun 2017, ketika perhelatan Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Saat itu ada 3 pasang calon yang bertarung, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviana Murni.
Memasuki masa kampanye, konsultan politik Anies-Sandi kala itu, Eep Saefulloh Fatah tertangkap kamera melakukan konsolidasi dengan konten berbau agama.
Eep meniru strategi Partai FIS di Aljazair yang berhasil memenangkan pemilu pada awal 1990-an dengan gerakan politik melalui masjid ke masjid.
Strategi ini berhasil, suara calon gubernur petahana, Ahok yang memikul status double minoritas tergerus. Puncaknya ketika Ahok kepeleset lidah menggunakan diksi mengutip QS Al Maidah 51 yang melahirkan demo besar yang terkenal dengan aksi 2 Desember 2016 (212).
Jelang pemungutan suara putaran dua, beredar kabar masjid yang menolak menyalatkan jenazah (Almh) Nenek Hindun hanya karena memilih Ahok-Djarot. Tak jelas awal mula kabar tersebut.
Meski sudah mendapat klarifikasi kepolisian dan pemerintah bahwa penolakan tersebut tidak benar, kabar tersebut tentu saja memberikan rasa takut bagi komunitas masjid untuk ‘berkhianat’.
Benar saja, pemungutan suara putaran dua 19 April 2017 mengantarkan Anies-Sandi menjadi gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Mereka menang 57,9 persen suara berbanding 42 persen milik Ahok-Djarot.
Banyak pihak menuding Anies meraih kemenangan dengan melegalkan konten berbau SARA.
Memang secara norma dan kepatutan, tak ada yang membenarkan hal tersebut. Konten SARA hanya mengkotak-kotakkan para pemilih jauh meninggalkan hakikat demokrasi itu sendiri.
Namun, mari fair melihat masalah demokrasi di Indonesia. Benarkah hanya Anies-Sandi yang membiarkan pendukungnya menggunakan politik identitas?
Banyak fakta terbentang, mulai dari pemilihan caleg, bupati/walikota, gubernur dan presiden, sering tersaji praktik kampanye negatif dan hitam bernuansa suku, agama dan kelompok.
Tak bisa dipungkiri, kedewasaan demokrasi Indonesia masih jauh api dari panggang. Setiap pesta demokrasi, para pemilih juga akan terklasifikasi dengan sendirinya.
Ada yang menjadi Pemilih Ideologis/ Fanatik, Pemilih Sosiologis/ Identitas, Pemilih Psikologis/ Visual, Pemilih Kompromi/ Transaksional dan Pemilih Rasional/ Kritis. Adu visi dan gagasan hanya sebatas formalitas jual kecap, mengobral janji manis.
Kini, dalam beberapa bulan ke depan hingga hari H, konten negatif, kampanye hitam sudah pasti akan berseliweran di media sosial. Setiap kubu sudah pasti akan mendiskreditkanlawan politiknya. Mulai kampanye negatif, kampanye hitam, hoax dan fitnah.
Pada akhirnya, politik adalah seni merebut atau mempertahankan kekuasaan. Terlepas dengan cara yang benar atau etis, tujuan selalu menjadi prioritas. Juga soal ketegasan dalam pengawasan Pemilu jujur dan adil.
Semua hanya soal takdir, Presiden RI berikutnya sudah tertulis jauh sebelum pencalonan itu sendiri. Tentang kehendak dan restu-Nya.
Baca: PDIP Pilih Pranowo, Bagaimana Nasib Prabowo?
Siapa dia? Biarlah waktu menjawab. (fgt).
Tidak ada komentar