“Kamu harus memiliki rasa Joie de vivre, menikmati kehidupan dengan bahagia dan semangat, dalam masa paling sulit sekalipun,” –Soekarno.
Pesan itu menjadi kunci penyemangat, seorang gadis mungil nan jelita menjalani hidupnya. Sang Ayah kerap menyapanya Ega, sedangkan si Ibu suka memanggilnya Adis.
Terlahir 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan, Yogyakarta, Adis tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan multi talenta. Dia suka menari, senang basket, jago bermain bola dan hobi memanjat pohon.
Sebagai anak petinggi negeri, dia mendapat pendidikan etika, tatakrama dan sopan santun. Penampilannya selalu rapi juga menarik. Rambut panjang membuatnya makin aduhai.
Dia juga punya rasa sosial, kepedulian dan kesetiakawanan begitu tinggi. Pernah dia tak mau ke sekolah, sebagai wujud protes kepada sang ayah, lantaran teman-temannya tak punya sepatu. Alhasil, sang ayah membelikan teman-temannya sepatu yang sama dengan Adis.
Semasa sekolah, dia begitu tertarik dengan dunia sejarah. Semua bacaan dia lahap. Mungkin tertular hobi ayahnya yang suka membaca.
Baca: Tutus Setiawan Lentera Para Tunanetra, Pembuka Asa Sesama
Pengalaman mengikuti sang ayah di acara kebangsaan membuat rasa nasionalisme dan patriotismenya sangat tinggi. Kebiasaan menyaksikan upacara 17 Agustus setiap tahunnya, juga bikin kecintaannya kepada negeri begitu bergelora
Satu waktu, tepatnya di tahun 1964, Adis mendapat tugas menjadi pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka. Waktu itu dia masih berusia 17 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SMA Tjikini, Jakarta.
Meski kaget, Adis tak menolak perintah tersebut. Sejak kecil sang ayah sudah membiasakannya untuk siap melaksanakan apa saja, kapan saja.
Sukses melaksanakan tugas itu, membuat ikatan batinnya dengan sang merah putih semakin kuat.
Masuk ke bangku kuliah, Adis menunjukkan ketertarikan di dunia politik. Dia kerap mengikuti pawai alegoris, menjadi aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
NAMUN, dunia yang penuh kebebasan, keceriaan dan kebahagian perlahan mulai terenggut. Dia harus mengarungi kehidupan yang penuh kesedihan dan deraian air mata.
Semua berawal dari pergolakan dan pemberontakan G30 S/PKI September 1965 hingga berlanjut keluarnya Supersemar Maret 1966.
22 Juni 1966, sang ayah membacakan pidato pertanggungjawaban Nawaksara di depan Sidang Umum MPRS.
Tujuh bulan berselang, atas permintaan MPRS, ayahnya kembali melantangkan pidato Pelengkap Nawaskara 10 Januari 1967.
16 Februari 1967, MPRS menolak pertanggungjwaban itu, menandai akhir kisah kepemimpinan ayah Adis.
20 Februari 1967, Presiden RI pertama, Soekarno harus menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan.
Masa kelamnya terus berjalan. Ayahnya jatuh sakit dan menjadi tahanan politik. Adis mulai kesulitan bertemu dengan sang ayah dan tak bisa lagi melanjutkan kuliahnya. Dia mencoba tegar, meski batinnya terus menangis.
Adis harus menunjukkan kekuatannya, agar tiga adik-adiknya, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra tak hanyut dalam kenestapaan.
Kakaknya, Mohammad Guntur Soekarnoputra kemudian mengenalkan sahabatnya, Surindro Supjarso (Mas Pacul). Adis menikah dengan Mas Pacul, perwira pertama di Angkatan Udara Indonesia, pada 1 Juni 1968 di Kebayoran Baru, Jakarta.
Kelahiran anak pertama, Muhammad Rizki Pratama membuatnya punya kesibukan baru, mengurus keluarga, suami dan putranya.
Nahas, bak tersambar petir, saat menanti kelahiran putra keduanya, Adis yang sedang mengandung harus menerima berita duka. Suaminya gugur saat bertugas di perairan Biak, Irian Jaya, 22 Januari 1970.
April 1970, anak keduanya lahir berstatus yatim. Adis memberinya nama Muhammad Prananda Prabowo. Sejak itu, dia menjadi orang tua tunggal.
Adis harus bertanggung jawab soal pendidikan, kesehatan dan pembentukan karakter anak-anaknya. Dengan penuh cinta kasih, kesabaran dan keikhlasan dia melakoni perannya.
Airmatanya yang belum kering, kembali harus bercucuran pada tanggal 21 Juni 1970. Superhero dan cinta pertamanya, Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Soekarno bin Raden Soekemi Sosrodihardjo, meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.
Melihat kesendirian sang adik, Guntur Soekarnoputra kembali mengenalkan sobat karibnya, Taufik Kiemas (Bule) kepadanya. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah pada Maret 1973.
Kebahagiaan Adis dan Bule makin paripurna ketika hadir bayi perempuan cantik. Mereka menamainya Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi. Adis makin fokus menjadi ibu rumah tangga, mengurusi suami dan tiga buah hatinya.
Meski begitu, perjalanan hidup keluarga Adis dan Bule tidak mudah. Latar belakang dan perbedaan identitas politik dengan penguasa, membuat mereka hidup terkungkung.
Tahun 1986, Presiden RI kedua, HM Soeharto memberikan gelar Pahlawan Proklamator untuk Soekarno-Hatta. Adis hadir dalam upacara penganugerahan tersebut. Gelar tersebut menjadi momentum awal Adis dan Bule untuk kembali terjun ke dunia politik.
Keduanya memutuskan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ibarat simbiosis mutualisme, PDI dan Adis saling berbagi manfaat.
Citra PDIP terdongkrak dengan kehadiran putri Bung Karno. Sementara Adis yang makin populer, terpilih menjadi anggota DPR RI tahun 1987.
Kehadirannya memang agak fenomenal. Padahal, banyak pengamat politik lebih memprediksi sang kakak, Guntur Soekarnoputra yang akan menjadi tokoh pembaruan.
Perlahan tapi pasti, namanya menjadi simbol kebangkitan wong cilik. Beberapa pihak coba menahan lajunya. Namun Adis laksana wadah berisi udara, makin tertekan kian laju ke permukaan.
Jadilah dia ketua PDIP secara de facto tahun 1993 dan de jure tahun 1994. Sempat mendapat tentangan dari lawan politik, Adis kemudian mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) jelang pemilu 1999.
Pada 1999, Pemilihan Umum pertama setelah Presiden HM Soeharto lengser, PDIP tak terbendung menjadi pemenang di bawah komando Adis.
Itu artinya Ketumnya, kans kuat untuk menjadi presiden RI ke-4. Namun, politik terlalu cepat berganti arah setiap detiknya. Dalam sidang umum MPR, Adis kalah dalam pemilihan presiden. Perempuan itu selanjutnya menjadi Wakil Presiden RI.
Hasil tersebut memantik gejolak massa. Simpatisan PDIP tak terima jika partai pemenang Pemilu kalah karena manuver di ruang sidang.
Adis dengan bijaksana langsung tampil untuk menenangkan massa yang berpotensi menimbulkan huru-hara di beberapa wilayah.
“Kepada anak-anakku di seluruh Tanah Air, saya minta untuk bekerja kembali dengan tulus. Jangan melakukan hal-hal yang bersifat emosional, karena di dalam mimbar ini, kamu melihat ibumu berdiri di sini,” begitu sepenggal pidato Adis.
Tapi, takdir memang memilih jalannya sendiri. Adis akhirnya menjadi Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001 menggantikan KH Abdurrahman Wahid.
Semasa kepemimpinannya, lahir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal lain yang menonjol pada eranya adalah sejumlah paket kebijakan ekonomi.
Satu hal menarik, dia mendapat julukan The Brave Lady (Perempuan Pemberani). Waktu itu Adis tetap bersikeras mengunjungi USA meski banyak yang melarang, pada 18 September 2001, sepekan pasca tragedi WTC 9/11.
Dia tahu, walau nyawanya terancam namun pertemuan di USA memiliki dampak besar untuk kemajuan negeri. Hasil kunjungannya tak sia-sia. Indonesia mendapat komitmen investasi hingga Rp200 triliun yang menjadi penyelamat dalam kondisi krisis.
Selepas menjabat Presiden tahun 2004, Adis tetap menjadi nakhoda PDIP. Dia sabar menjadi tokoh reformasi selama 10 tahun.
Hingga akhirnya tahun 2014, PDIP kembali menjadi pemenang Pemilu dan menempatkan kadernya, Joko Widodo sebagai Presiden RI ke-7.
Dia berulang kali menyatakan hendak istirahat dari dunia politik, ingin menikmati lebih banyak waktu bersama 3 anak dan 7 cucunya.
Namun, permintaan, tanggung jawab dan keterpanggilannya untuk negeri membuatnya tetap mengabdi. Kini di usianya yang lebih dari tiga perempat abad, dia tetap memberikan sumbangsih untuk Indonesia.
Adis sekarang menjadi Ketua Partai Politik terlama di Indonesia. Dia sudah menjadi Ketua Umum PDI/ PDIP selama 29 tahun.
Dia juga menjabat Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Tak heran memang, jika perjalanan kisah Adis sedari belia hingga senjakala, menuai banyak penghargaan.
Dari sisi akademis, dia sudah mendapat sembilan gelar Doktor Honoris Causa (HC) dan dua gelar profesor kehormatan.
Pun begitu, bintang dan tanda jasa. Sembilan bintang utamanya adalah Bintang Republik Indonesia Adipurna, Bintang Republik Indonesia Adipradana, Bintang Mahaputra Adipurna dan Bintang Yudha Dharma Utama.
Ada juga Bintang Kartika Eka Pakci Utama, Bintang Jalasena Utama, Bintang Jasa Utama, Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama dan Bintang Budaya Parama Dharma.
Adis memberi contoh bagaimana menjadi teman, saudara, istri, ibu dan pemimpin yang hebat. Dia membuktikan hasil tak pernah mengkhianati usaha. Perjuangan, kesabaran dan keyakinan plus berserah kepada Yang Kuasa, niscaya menghadirkan sukacita pada waktunya.
Tak berlebihan juga tidak terbantahkan, melabelinya sebagai perempuan inspirasi Indonesia. Dia bagaikan bunga semerbak harum, menyebar wangi ke penjuru nusantara.
Baca juga: Bapak Kita Kartono, yang Terlupakan
Seperti etimologi kata perempuan, Adis membuktikan Empu (Perempuan) merupakan mahluk mulia, mahir merawat, terampil memimpin, hingga menjadi teladan negeri. (fgt)